Sabtu, 24 April 2010

9 Kewajiban Umat Terhadap Al Aqsha

Alam Islami
16/1/2008 | 07 Muharram 1429 H | Hits: 4.055
Oleh: Tim dakwatuna.com
--------------------------------------------------------------------------------


dakwatuna.com – Kalau para ahli fiqh menentukan bahwa suatu kewajiban ada yang terbatas dari segi waktu, demi kemuliaan si pelaku atau karena kesitimewaan tempatnya. Maka suatu kewajiban yang agung yang harus dilakukan ummat pada zaman ini adalah terhadap Masjid Al-Aqsha, kiblat pertama umat Islam, masjids suci ketiga dalam ajaran Islam serta tempat isra’nya Rasulullah salallahu alaihi wasallam.

Ada sembilan kewajiban yang harus diemban umat Islam saat ini, dimana pun mereka berada, yaitu :

1. Memproklamirkan jihad untuk membebaskan Al-Aqsha dan melindunginya dari para pengganggunya. Hal ini sudah disepakati oleh seluruh fuqoha’ (ahli fiqh) Islam. Mereka telah menetapkan, bahwa barang siapa yang menjajah sejengkal tanah dari kaum muslimin, maka hukumnya menjadi fardhhu ain bagi seluruh umat Islam untuk membebaskannya. Seorang perempuan boleh keluar tanpa izin dari suaminya, seorang budak boleh pergi tanpa izin dari majikanya, seorang anak boleh berangkat tanpa izin orang tuanya. Kalaupun Al-Aqsha telah lama dijajah, tetapi kewajiban ini belum lepas dari pundak setiap muslim. Mereka wajib membebaskanya sebelum dihancurkan oleh yahudi dan digantinya dengan Haikal Sinagog buatan mereka.

2. Mengalirkan darah dan mengorbankan nyawa demi mejaga Al-aqsha dari kehancuran. Ini suatu keharusan, karena sesuatu yang diambil dengan darah maka harus dikembalikan dengan darah. Karena sesungguhnya amalan yang paling Allah cintai adalah mengalirnya setetes darah dalam jihad fi sabilillah. Dalam salah satu riawayt diterangkan, Allah sangat kagum bahkan tertawa ketika melihat seseorang menceburkan dirinya dalam medan perang. Sementara teman-temanya pada mundur, kemudian ia terbunuh oleh musuh.

3. Memberikan hartanya untuk modal Jihad Fi Sabilillah di Palestina, di antaranya untuk melindungi Masjid Al-Mubarak. Dana ini diperlukan untuk melakukan renovasi, memeliharanya dari kerusakan, menggaji para pegawainya dan memberikan santunan bagi orang yang sukarela memelihara Al-Aqsha. memberikan bantuan bagi para keluarga yang bekerja di Al-Aqsha. Di samping itu, dana tersebut dapat digunakan untuk melakukan propaganda dan informasi bagi masyarakat umum.

4. Menyisihkan waktu untuk sesekali mengunjungi Al-Aqsha bagi yang tinggal dekat dengannya. Sebagaimana sabda Nabi salallah alaihi wasallam, “setiap mayit terhenti amal ibadahnya kecuali orang yang berjuang di jalan Allah”

5. Memanjatkan doa dengan segenap ketundukan dan pengharapan untuk perlindungan Al Aqsha dan mengajak kaum muslimin yang ada di barat dan timur untuk menjaga dan melindungi Al-Aqsha dari setiap penodaan. “Doa adalah senjata orang mukmin.”

6. Mejadikan Tema Al Qasha sebagai tema sentral umat Islam, dalam setiap kesempatan dan tempat; dalam seminar, kajian, ceramah, tabligh akbar, khutbah Jum’at dan lainnya dengan menjelaskan urgensinya, keutamaanya. Hingga al-Aqsha menjadi topic pembicaraan di setiap majelis, dijelaskan di setiap mimbar.

7. Menggunakan sarana jabatan, kedudukan public dan ketokohan untuk melindungi al-Aqsha, dengan melakukan lobi-lobi terhadap sentral pengambilan kebijakan agar memihak pada pembebasan Al Aqsha. Sampai Al Aqsha tersenyum kembali.

8. Menulis tentang al-Aqsha bagi yang biasa berdakwah lewat tulisan dengan menjelaskan sejarahnya, tempat-tempat bersejarah, kewajiban membelanya. Memaparkan kewajiban umat terhadap al-Aqsha, menyerbarkan tulisan tersebut agar al-Aqsha menjadi pembicaraan di tingkat dunia. Al-Aqsha adalah warisan dunia, tidak boleh diganggu gugat apalagi dihancurkan. Dan agar para pemikir di seluruh dunia yang masih memiliki hati nurani melakukan pembelaan terhadap al-Aqsha dan menjaga kehormatannya.

9. Berziarah ke Masjidil Aqsha, sebagaimana sabda Rasulallah sallallah alaihi wasalam, “Tidak disyariatkan bepergian kecuali bagi tiga masjid, Masjidil Haram, Masjidku ini (Masjid Nabawi) dan Masjid al-Aqsha.” Tentunya mempertimbangkan sisi pemasukan devisa untuk rakyat Palestina bukan justru menguntungkan Israil.

Dengan melakukan salah satu dari kesembilan kewajiban tadi, sumat Islam punya alasan di depan Allah swt ketika ditanya tentang pertanggung jawaban mereka terhadap al-Aqsha. Tanpa melakukan apapun dari kesembilan tadi, maka tidak ada alasan yang dapat diterima di sisis-Nya. Ia tidak akan dihiraukan oleh Allah swt. Semoga Allah menolong kita semua. Allahu a’lam (Infopalestin).

Jumat, 23 April 2010

Hati Adalah Kunci

Rabu, 21/04/2010 05:52 WIB | email | print | share
Oleh Ryan Muthiara Wasti

"Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya." (QS: al-Fajr 27-28)

Pernah suatu ketika saya mengunjungi salah seorang ustadzah di dekat asrama sewaktu SMA dulu. Beliau baru saja melahirkan anak ketiganya, bernama syahdan ibkari, bayi laki-laki yang dituntun tuk menjadi seorang laki-laki sholeh, subhanallah.. begitu menatap matanya ada desiran halus di hati saya mengingat begitu polos dan jernihnya mata itu. ya, mata yang belum tersentuh oleh hingar bingar dunia. Saya heran, syahdan membalas salam saya dengan wajah polos, namun saat teman yang saya ajak ikut menatapnya, syahdan tersenyum dan menunjukkan wajah yang begitu bahagia. Hmm.. jadi ingat pelajaran fisika. Resonansi terjadi jika suatu benda mempunyai frekuensi yang sama dengan benda lainnya. Apakah karena hati saya tidak satu frekuensi dengan syahdan sehingga ia tidak menunjukkan respon positif? Yah.. mungkin saja, mengingat begitu banyak butir-butir noda yang menghinggapi hati ini.

Astaghfirullahal’adhim.. saat itu hampir saja saya menangis.. bukan karena dicuekin syahdan, tapi saya mendapat “tusukan halus” yang menghujam hati.

***

Hatii.. satu kata yang menggambarkan diri kita secara keseluruhan. Setiap manusia mempunyai hati, namun tidak sama. Ada hati yang senantiasa diisi dengan dentingan ayat-ayat suci Al-Qur’an, irama ketulusan dan bait-bait perjuangan menegakkan kebaikan seperti teladan kita Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Namun, ada pula hati yang selalu dimasuki celaan, kesombongan hingga noda-noda hitam menjadi penutupnya. Maka, berbahagialah yang bisa menjadikan hatinya layaknya seorang bayi yang baru lahir, tenang dan menyejukkan.

Hati sesungguhnya bukanlah apa yang nyata-nyata kita perbuat, namun apa yang seharusnya kita lakukan. Bila diibaratkan dalam hukum, maka kecenderungan hati adalah das sollen, bukan das sein. Mengapa demikian? karena hati diciptakan selalu cenderung pada kebaikan bukan kejahatan. Hati pada dasarnya bisa menjadi penunjuk jalan yang baik. Mengarahkan akan ketidaktahuan seorang manusia, dan menjawab segala kebingungan yang menjengahkan. Layaknya seorang musafir yang tak tau arah,hati menjadi kompas yang tepat untuk membimbing ke jalan yang seharusnya. Maka, sangatlah salah bila seorang insan mengkambinghitamkan hatinya tatkala berbuat dosa karena sesungguhnya hati yang sebenarnya bukan hati yang mempengaruhi mereka sehingga berbuat maksiat, namun perbuatan itulah yang akhirnya menutupi hati.

***

Hati adalah kunci. Kunci keimanan, kunci keberhasilan dan kunci kemenangan dalam hidup, dunia dan akhirat. Maka, jika kunci itu sudah didapatkan, pegang ia erat-erat dan jangan lepaskan hanya karena bisikan kesenangan semu semata.

Banyak orang berhasil namun tetap tidak menemukan juga apa yang dicarinya. Keberhasilannya hanya label semata bahwa dia bahagia. Namun, bila jujur, mungkin hatinya berontak karena kebahagiaan itu tidak hadir. Kerja-keras selama ini hanya berbuah keletihan belaka, tak ada ketenangan. Tahukah dirimu kenapa? Karena keberhasilannya hanya karena dunia sahaja. Kebahagiaan itu sebenarnya lahir ketika hati bahagia, bukan fisik semata. Hati yang selalu dekat dengan Rabb akan mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan yang tidak dapat dinilai dengan materi yang berlimpah sekalipun karena ia memang tidak diperjualbelikan, ia diberikan khusus untuk manusia-manusia mulia yang bersungguh-sungguh mengejar keridhoanNya.

Kemenangan dalam hidup didapatkan bila hati sudah bergerak,mengikuti pergerakan alur yang benar,bukan yang asal-asalan. Istilah orang Minang "sasuai jo nan bana." Kepahaman terhadap kehendak Allah dan penguasaanNya terhadap alam semesta ini juga menjadi syarat kemenangan yang sebenarnya. Dengan menjadikan Allah selalu di hati maka seluruh dunia akan dengan mudah mengikuti.

Pernahkah berpikir: “saya sudah capek-capek berdakwah sana sini, mengorbankan segala kepentingan pribadi tapi tak ada yang memperhatikan dan sekedar mengucapkan terima kasih atas pengorbanan saya. Padahal mereka tidak tahu betapa banyak saya memberikan untuk dakwah ini.”

Kalu iya, maka mari kita renungkan dan pertanyakan lagi apa tujuan kita dalam melakukan sesuatu. Apakah sekadar mendapat pujian? Atau mendapat penghargaan sebagai aktivis dakwah? Hmm.. saya ingat dengan perkataan seorang teman: “saat berbuat sesuatu bayangkanlah Allah bersama kita, maka kita akan bahagia melakukannya karena Dia. Tapi jika kita berbuat sesuatu dengan membayangkan manusia akan melihat kebaikan itu, maka bersiaplah untuk kecewa karena manusia adalah tempat salah dan lupa.”

Maka, saya pun berpikir bagaimana agar perbuatan yang saya lakukan tidak sia-sia yaitu dengan merasakan keberadaan Allah SWT. Dengan demikian, hati ini terhindar dari kerikil-kerikil riya dan batu-batu kesombongan. Yah.. semoga suatu saat nanti jika saya bertemu dengan syahdan-syahdan yang lain, saya dapat melihat senyum bahagia karena hati yang beresonansi karena telah

Dan ketika hati-hati menyatu..
Jiwa-jiwa berpadu..
Alam syahdu bahagia.. saksikan zikir yang membahana..
Surga menanti pemilik hati..
Yang tunduk pada Ilahi..

Rabu, 21 April 2010

Mereka Hanya Tahu Sedikit Tentang Dunia

Tafsir Ayat
26/3/2010 | 11 Rabiuts Tsani 1431 H | Hits: 2.469
Oleh: Dr. Attabiq Luthfi, MA
--------------------------------------------------------------------------------


وَعْدَ اللَّهِ لَا يُخْلِفُ اللَّهُ وَعْدَهُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ (6) يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الْآَخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ
dakwatuna.com - ”(Sebagai) janji yang sebenarnya dari Allah. Allah sekali-kali tidak akan menyalahi janjinya, tetapi kebanyakan manusia tidak Mengetahui. Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” (Ar-Rum: 6-7)

Ayat ini menurut Al-Qurthubi berbicara tentang kriteria umum orang-orang kafir atau kaum musyrik Mekkah yang hanya memperhatikan satu kehidupan saja, yaitu kehidupan dunia. Sehingga, siapapun yang bersikap demikian, tidaklah berbeda dengan orang kafir yang jelas mendapat kerugian di akhirat kelak. Mereka mengetahui kehidupan dunia sebatas untuk meraih kesenangan. Pengetahuan mereka tentang urusan duniawi justru disamakan oleh Allah swt. dengan orang-orang yang tidak tahu, karena pengetahuan seseorang yang terbatas hanya tentang dunia adalah sama dengan kebodohan. Bahkan ditegaskan dalam ayat di atas bahwa pengetahuan mereka tentang dunia pun sangat parsial, sebatas memahami sisi lahir dari kehidupan dunia yang luas ini, yaitu tentang kesenangan dan kenikmatannya saja, tidak tentang ujian, tanggung jawab, dan persoalan-persoalan penting dunia lainnya yang menghantarkan pada balasan baik di akhirat kelak.

Pemahaman seperti ini secara bahasa dapat dibenarkan seperti yang diungkapkan oleh Az-Zamakhsyari bahwa kata يَعْلَمُونَ adalah badal dari kata لا يعلمون sehingga keduanya bermakna satu, yaitu kebodohan dan ketidaktahuan. Demikian juga kata zahir dalam ayat ini mengisyaratkan bahwa dunia harus dipahami dengan dua dimensinya secara komprehensif, yaitu dimensi lahir maupun dimensi batin. Dimensi lahir terbatas pada kesenangan dan kenikmatan dunia, sedangkan dimensi batin adalah esensi dunia sebagai tempat beramal menuju kebahagiaan hidup yang sesungguhnya di akhirat kelak. Kata ظَاهِرًا yang disebut dalam bentuk nakirah ‘indifinitive’ menunjukkan bahwa pemahaman mereka terhadap dunia pun masih parsial, tidak menyeluruh, apalagi tentang kehidupan pasca kehidupan dunia.

Kecaman Allah terhadap orang kafir –karena sikap mereka yang melulu hanya mengurusi dunia– tidak berarti bahwa urusan dunia tidak mendapatkan porsi perhatian sewajarnya. Pengetahuan orang kafir tentang dunia yang dikecam oleh Allah adalah karena pengetahuan mereka yang sempit, parsial dan tidak utuh. Sehingga, orang yang beriman harus memperhatikan sisi dunia secara komprehensif sebagai bagian dari mempersiapkan kehidupan akhirat yang lebih baik agar terhindar dari kriteria orang yang lalai yang disebutkan pada petikan terakhir ayat ini وَهُمْ عَنِ الْآَخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ

Lalai yang dimaksud dalam ayat ini yang dinyatakan dengan kata ‘ghafilun’ menurut Asy-Syaukani adalah dalam arti tidak memberi perhatian dan kepeduliaan tentang urusan akhirat, serta tidak mempersiapkan untuk menghadapi kehidupan tersebut dengan menjalankan ketaatan dan amal shalih sebagai bekal meraih kebahagiaan seperti yang mereka lakukan tentang urusan kehidupan dunia mereka. Dalam sebuah syair Arab disebutkan tentang konsepsi kebodohan dalam terminologi agama:

ومن البليّة أن ترى لك صاحباً … في صورة الرجل السميع المبصر
فطنٍ بكل مصيبة في ماله … وإذا يصاب بدينه لم يشعر
Dan dari kebodohan itu adalah kamu melihat seorang kawan

seakan ia seorang yang mendengar dan melihat

Ia sangat paham tentang musibah yang menimpa hartanya,

namun sangat disayangkan ia sama sekali tidak sadar tentang musibah yang menimpa agamanya

Sikap lalai terhadap urusan akhirat menurut Sayyid Quthb merupakan musibah bagi manusia yang beriman. Karena keimanan seseorang seharusnya akan membimbing dan senantiasa mengarahkan untuk juga memperhatikan dan mempersiapkan kehidupan akhirat. Karena, kelengahan terhadap akhirat akan menjadikan barometer sesuatu menjadi rancu. Segalanya diukur dengan ukuran material. Itulah bukti pemahaman yang sempit tentang kehidupan. Seorang yang memahami kehidupan akhirat akan mengubah pandangannya tentang dunia tidak melulu untuk memuaskan nafsu dan kesenangan materi semata. Tetapi, ia akan bersungguh-sungguh bekerja dan beramal untuk menyelamatkan diri di akhirat kelak. Inilah pertimbangan dan parameter yang benar tentang kehidupan yang sesungguhnya. Dan jika seseorang telah lalai akan akhirat, pasti ia akan lebih melupakan Allah swt. Padahal Allah telah menegaskan, “Dan janganlah kalian seperti orang yang melupakan Allah, maka mereka berarti telah melupakan diri sendiri. Dan itulah orang-orang yang fasik.” (Al-Hasyr: 19). Oleh karenanya, Allah swt. menegaskan di ayat berikutnya tentang dua kelompok manusia, yaitu penghuni surga dan dan penghuni neraka sebagai perumpamaan bagi mereka yang hanya memperhatikan kehidupan dunia dengan mereka yang memiliki orientasi akhirat yang benar, dan itulah hakikat pemahaman yang komprehensif tentang kehidupan ini.

Sikap melalaikan urusan akhirat karena didominasi oleh perhatian yang besar tentang kesenangan dunia merupakan di antara ciri orang-orang kafir yang dikecam oleh Allah swt. Tentu penyebutan sifat mereka di dalam Al-Qur’an merupakan bahan pelajaran yang berharga bagi orang yang beriman agar tidak memiliki sikap seperti mereka. Karena jika tidak, tidaklah dikatakan orang yang beriman apabila hanya mementingkan urusan dunia dengan tidak memiliki kepedulian akan persiapan yang matang untuk kehidupan akhirat yang lebih kekal. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Tirmidzi, Rasulullah saw. menyebutkan ciri orang yang cerdas, ternyata terkait dengan perhatian akan kehidupan akhirat. Rasulullah saw. bersabda:

الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللَّهِ
“Orang yang cerdas adalah orang yang mampu mengendalikan nafsunya dan beramal untuk kehidupan setelah kematian. Sedangkan orang yang lemah adalah orang yang memperturutkan nafsunya dan hanya berangan-angan terhadap Allah (tidak beramal).”

Demikian pelajaran yang berharga tentang gambaran orang-orang kafir yang harus menjadi pembeda dengan orang yang beriman. Kehidupan dunia ini harus mendapat perhatian sewajarnya sesuai dengan tuntunan Allah swt., karena kehidupan dunia dapat menjadi potret akan keadaan kehidupan seseorang di akhirat kelak. Jika akhir kehidupan dunianya baik, maka begitulah kehidupan yang akan dijalaninya di akhirat kelak. Namun jika penuh dengan dosa dan kemaksiatan, maka tentu hukuman siksa dan azab menjadi makanan yang tidak akan berhenti selama-lamanya di akhirat kelak. Begitu juga, kehidupan dunia harus dipahami secara utuh, terutama berhubungan dengan tugas dan tanggung jawab kemanusiaan, karena Allah menciptakan manusia tidak sia-sia. Maka, hidup di dunia ini tidak boleh disia-siakan dengan melulu mengurusi kesenangan dan kenikmatannya!