Jumat, 23 April 2010

Hati Adalah Kunci

Rabu, 21/04/2010 05:52 WIB | email | print | share
Oleh Ryan Muthiara Wasti

"Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya." (QS: al-Fajr 27-28)

Pernah suatu ketika saya mengunjungi salah seorang ustadzah di dekat asrama sewaktu SMA dulu. Beliau baru saja melahirkan anak ketiganya, bernama syahdan ibkari, bayi laki-laki yang dituntun tuk menjadi seorang laki-laki sholeh, subhanallah.. begitu menatap matanya ada desiran halus di hati saya mengingat begitu polos dan jernihnya mata itu. ya, mata yang belum tersentuh oleh hingar bingar dunia. Saya heran, syahdan membalas salam saya dengan wajah polos, namun saat teman yang saya ajak ikut menatapnya, syahdan tersenyum dan menunjukkan wajah yang begitu bahagia. Hmm.. jadi ingat pelajaran fisika. Resonansi terjadi jika suatu benda mempunyai frekuensi yang sama dengan benda lainnya. Apakah karena hati saya tidak satu frekuensi dengan syahdan sehingga ia tidak menunjukkan respon positif? Yah.. mungkin saja, mengingat begitu banyak butir-butir noda yang menghinggapi hati ini.

Astaghfirullahal’adhim.. saat itu hampir saja saya menangis.. bukan karena dicuekin syahdan, tapi saya mendapat “tusukan halus” yang menghujam hati.

***

Hatii.. satu kata yang menggambarkan diri kita secara keseluruhan. Setiap manusia mempunyai hati, namun tidak sama. Ada hati yang senantiasa diisi dengan dentingan ayat-ayat suci Al-Qur’an, irama ketulusan dan bait-bait perjuangan menegakkan kebaikan seperti teladan kita Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Namun, ada pula hati yang selalu dimasuki celaan, kesombongan hingga noda-noda hitam menjadi penutupnya. Maka, berbahagialah yang bisa menjadikan hatinya layaknya seorang bayi yang baru lahir, tenang dan menyejukkan.

Hati sesungguhnya bukanlah apa yang nyata-nyata kita perbuat, namun apa yang seharusnya kita lakukan. Bila diibaratkan dalam hukum, maka kecenderungan hati adalah das sollen, bukan das sein. Mengapa demikian? karena hati diciptakan selalu cenderung pada kebaikan bukan kejahatan. Hati pada dasarnya bisa menjadi penunjuk jalan yang baik. Mengarahkan akan ketidaktahuan seorang manusia, dan menjawab segala kebingungan yang menjengahkan. Layaknya seorang musafir yang tak tau arah,hati menjadi kompas yang tepat untuk membimbing ke jalan yang seharusnya. Maka, sangatlah salah bila seorang insan mengkambinghitamkan hatinya tatkala berbuat dosa karena sesungguhnya hati yang sebenarnya bukan hati yang mempengaruhi mereka sehingga berbuat maksiat, namun perbuatan itulah yang akhirnya menutupi hati.

***

Hati adalah kunci. Kunci keimanan, kunci keberhasilan dan kunci kemenangan dalam hidup, dunia dan akhirat. Maka, jika kunci itu sudah didapatkan, pegang ia erat-erat dan jangan lepaskan hanya karena bisikan kesenangan semu semata.

Banyak orang berhasil namun tetap tidak menemukan juga apa yang dicarinya. Keberhasilannya hanya label semata bahwa dia bahagia. Namun, bila jujur, mungkin hatinya berontak karena kebahagiaan itu tidak hadir. Kerja-keras selama ini hanya berbuah keletihan belaka, tak ada ketenangan. Tahukah dirimu kenapa? Karena keberhasilannya hanya karena dunia sahaja. Kebahagiaan itu sebenarnya lahir ketika hati bahagia, bukan fisik semata. Hati yang selalu dekat dengan Rabb akan mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan yang tidak dapat dinilai dengan materi yang berlimpah sekalipun karena ia memang tidak diperjualbelikan, ia diberikan khusus untuk manusia-manusia mulia yang bersungguh-sungguh mengejar keridhoanNya.

Kemenangan dalam hidup didapatkan bila hati sudah bergerak,mengikuti pergerakan alur yang benar,bukan yang asal-asalan. Istilah orang Minang "sasuai jo nan bana." Kepahaman terhadap kehendak Allah dan penguasaanNya terhadap alam semesta ini juga menjadi syarat kemenangan yang sebenarnya. Dengan menjadikan Allah selalu di hati maka seluruh dunia akan dengan mudah mengikuti.

Pernahkah berpikir: “saya sudah capek-capek berdakwah sana sini, mengorbankan segala kepentingan pribadi tapi tak ada yang memperhatikan dan sekedar mengucapkan terima kasih atas pengorbanan saya. Padahal mereka tidak tahu betapa banyak saya memberikan untuk dakwah ini.”

Kalu iya, maka mari kita renungkan dan pertanyakan lagi apa tujuan kita dalam melakukan sesuatu. Apakah sekadar mendapat pujian? Atau mendapat penghargaan sebagai aktivis dakwah? Hmm.. saya ingat dengan perkataan seorang teman: “saat berbuat sesuatu bayangkanlah Allah bersama kita, maka kita akan bahagia melakukannya karena Dia. Tapi jika kita berbuat sesuatu dengan membayangkan manusia akan melihat kebaikan itu, maka bersiaplah untuk kecewa karena manusia adalah tempat salah dan lupa.”

Maka, saya pun berpikir bagaimana agar perbuatan yang saya lakukan tidak sia-sia yaitu dengan merasakan keberadaan Allah SWT. Dengan demikian, hati ini terhindar dari kerikil-kerikil riya dan batu-batu kesombongan. Yah.. semoga suatu saat nanti jika saya bertemu dengan syahdan-syahdan yang lain, saya dapat melihat senyum bahagia karena hati yang beresonansi karena telah

Dan ketika hati-hati menyatu..
Jiwa-jiwa berpadu..
Alam syahdu bahagia.. saksikan zikir yang membahana..
Surga menanti pemilik hati..
Yang tunduk pada Ilahi..