Kamis, 27 Agustus 2009

Tiga Ciri Orang Ikhlas

Tazkiyatun Nufus
3/5/2008 | 27 Rabiuts Tsani 1429 H | Hits: 20,938
Oleh: Mochamad Bugi
--------------------------------------------------------------------------------


dakwatuna.com – Jika ada kader dakwah merasakan kekeringan ruhiyah, kegersangan ukhuwah, kekerasan hati, hasad, perselisihan, friksi, dan perbedaan pendapat yang mengarah ke permusuhan, berarti ada masalah besar dalam tubuh mereka. Dan itu tidak boleh dibiarkan. Butuh solusi tepat dan segera.

Jika merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah, kita akan menemukan pangkal masalahnya, yaitu hati yang rusak karena kecenderungan pada syahwat. “Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.” (Al-Hajj: 46). Rasulullah saw. bersabda, “Ingatlah bahwa dalam tubuh ada segumpal daging, jika baik maka seluruh tubuhnya baik; dan jika buruk maka seluruhnya buruk. Ingatlah bahwa segumpul daging itu adalah hati.” (Muttafaqun ‘alaihi). Imam Al-Ghazali pernah ditanya, “Apa mungkin para ulama (para dai) saling berselisih?” Ia menjawab,” Mereka akan berselisih jika masuk pada kepentingan dunia.”

Karena itu, pengobatan hati harus lebih diprioritaskan dari pengobatan fisik. Hati adalah pangkal segala kebaikan dan keburukan. Dan obat hati yang paling mujarab hanya ada dalam satu kata ini: ikhlas.

Kedudukan Ikhlas

Ikhlas adalah buah dan intisari dari iman. Seorang tidak dianggap beragama dengan benar jika tidak ikhlas. Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (Al-An’am: 162). Surat Al-Bayyinah ayat 5 menyatakan, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.” Rasulullah saw. bersabda, “Ikhlaslah dalam beragama; cukup bagimu amal yang sedikit.”

Tatkala Jibril bertanya tentang ihsan, Rasul saw. berkata, “Engkau beribadah kepada Allah seolah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah melihatmu.” Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menerima amal kecuali dilakukan dengan ikhlas dan mengharap ridha-Nya.”

Fudhail bin Iyadh memahami kata ihsan dalam firman Allah surat Al-Mulk ayat 2 yang berbunyi, “Liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amala, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya” dengan makna akhlasahu (yang paling ikhlas) dan ashwabahu (yang paling benar). Katanya, “Sesungguhnya jika amal dilakukan dengan ikhlas tetapi tidak benar, maka tidak diterima. Dan jika amal itu benar tetapi tidak ikhlas, juga tidak diterima. Sehingga, amal itu harus ikhlas dan benar. Ikhlas jika dilakukan karena Allah Azza wa Jalla dan benar jika dilakukan sesuai sunnah.” Pendapat Fudhail ini disandarkan pada firman Allah swt. di surat Al-Kahfi ayat 110.

Imam Syafi’i pernah memberi nasihat kepada seorang temannya, “Wahai Abu Musa, jika engkau berijtihad dengan sebenar-benar kesungguhan untuk membuat seluruh manusia ridha (suka), maka itu tidak akan terjadi. Jika demikian, maka ikhlaskan amalmu dan niatmu karena Allah Azza wa Jalla.”

Karena itu tak heran jika Ibnul Qoyyim memberi perumpamaan seperti ini, “Amal tanpa keikhlasan seperti musafir yang mengisi kantong dengan kerikil pasir. Memberatkannya tapi tidak bermanfaat.” Dalam kesempatan lain beliau berkata, “Jika ilmu bermanfaat tanpa amal, maka tidak mungkin Allah mencela para pendeta ahli Kitab. Jika ilmu bermanfaat tanpa keikhlasan, maka tidak mungkin Allah mencela orang-orang munafik.”

Makna Ikhlas

Secara bahasa, ikhlas bermakna bersih dari kotoran dan menjadikan sesuatu bersih tidak kotor. Maka orang yang ikhlas adalah orang yang menjadikan agamanya murni hanya untuk Allah saja dengan menyembah-Nya dan tidak menyekutukan dengan yang lain dan tidak riya dalam beramal.

Sedangkan secara istilah, ikhlas berarti niat mengharap ridha Allah saja dalam beramal tanpa menyekutukan-Nya dengan yang lain. Memurnikan niatnya dari kotoran yang merusak.

Seseorang yang ikhlas ibarat orang yang sedang membersihkan beras (nampi beras) dari kerikil-kerikil dan batu-batu kecil di sekitar beras. Maka, beras yang dimasak menjadi nikmat dimakan. Tetapi jika beras itu masih kotor, ketika nasi dikunyah akan tergigit kerikil dan batu kecil. Demikianlah keikhlasan, menyebabkan beramal menjadi nikmat, tidak membuat lelah, dan segala pengorbanan tidak terasa berat. Sebaliknya, amal yang dilakukan dengan riya akan menyebabkan amal tidak nikmat. Pelakunya akan mudah menyerah dan selalu kecewa.

Karena itu, bagi seorang dai makna ikhlas adalah ketika ia mengarahkan seluruh perkataan, perbuatan, dan jihadnya hanya untuk Allah, mengharap ridha-Nya, dan kebaikan pahala-Nya tanpa melihat pada kekayaan dunia, tampilan, kedudukan, sebutan, kemajuan atau kemunduran. Dengan demikian si dai menjadi tentara fikrah dan akidah, bukan tentara dunia dan kepentingan. Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku.” Dai yang berkarakter seperti itulah yang punya semboyan ‘Allahu Ghayaatunaa‘, Allah tujuan kami, dalam segala aktivitas mengisi hidupnya.

Buruknya Riya

Makna riya adalah seorang muslim memperlihatkan amalnya pada manusia dengan harapan mendapat posisi, kedudukan, pujian, dan segala bentuk keduniaan lainnya. Riya merupakan sifat atau ciri khas orang-orang munafik. Disebutkan dalam surat An-Nisaa ayat 142, “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat itu) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.”

Riya juga merupakan salah satu cabang dari kemusyrikan. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya yang paling aku takuti pada kalian adalah syirik kecil.” Sahabat bertanya, “Apa itu syirik kecil, wahai Rasulullah?” Rasulullah saw. menjawab, “Riya. Allah berkata di hari kiamat ketika membalas amal-amal hamba-Nya, ‘Pergilah pada yang kamu berbuat riya di dunia dan perhatikanlah, apakah kamu mendapatkan balasannya?’” (HR Ahmad).

Dan orang yang berbuat riya pasti mendapat hukuman dari Allah swt. Orang-orang yang telah melakukan amal-amal terbaik, apakah itu mujahid, ustadz, dan orang yang senantiasa berinfak, semuanya diseret ke neraka karena amal mereka tidak ikhlas kepada Allah. Kata Rasulullah saw., “Siapa yang menuntut ilmu, dan tidak menuntutnya kecuali untuk mendapatkan perhiasan dunia, maka ia tidak akan mendapatkan wangi-wangi surga di hari akhir.” (HR Abu Dawud)

Ciri Orang Yang Ikhlas

Orang-orang yang ikhlas memiliki ciri yang bisa dilihat, diantaranya:

1. Senantiasa beramal dan bersungguh-sungguh dalam beramal, baik dalam keadaan sendiri atau bersama orang banyak, baik ada pujian ataupun celaan. Ali bin Abi Thalib r.a. berkata, “Orang yang riya memiliki beberapa ciri; malas jika sendirian dan rajin jika di hadapan banyak orang. Semakin bergairah dalam beramal jika dipuji dan semakin berkurang jika dicela.”

Perjalanan waktulah yang akan menentukan seorang itu ikhlas atau tidak dalam beramal. Dengan melalui berbagai macam ujian dan cobaan, baik yang suka maupun duka, seorang akan terlihat kualitas keikhlasannya dalam beribadah, berdakwah, dan berjihad.

Al-Qur’an telah menjelaskan sifat orang-orang beriman yang ikhlas dan sifat orang-orang munafik, membuka kedok dan kebusukan orang-orang munafik dengan berbagai macam cirinya. Di antaranya disebutkan dalam surat At-Taubah ayat 44-45, “Orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, tidak akan meminta izin kepadamu untuk (tidak ikut) berjihad dengan harta dan diri mereka. Dan Allah mengetahui orang-orang yang bertakwa. Sesungguhnya yang akan meminta izin kepadamu, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir, dan hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam keragu-raguannya.”

2. Terjaga dari segala yang diharamkan Allah, baik dalam keadaan bersama manusia atau jauh dari mereka. Disebutkan dalam hadits, “Aku beritahukan bahwa ada suatu kaum dari umatku datang di hari kiamat dengan kebaikan seperti Gunung Tihamah yang putih, tetapi Allah menjadikannya seperti debu-debu yang beterbangan. Mereka adalah saudara-saudara kamu, dan kulitnya sama dengan kamu, melakukan ibadah malam seperti kamu. Tetapi mereka adalah kaum yang jika sendiri melanggar yang diharamkan Allah.” (HR Ibnu Majah)

Tujuan yang hendak dicapai orang yang ikhlas adalah ridha Allah, bukan ridha manusia. Sehingga, mereka senantiasa memperbaiki diri dan terus beramal, baik dalam kondisi sendiri atau ramai, dilihat orang atau tidak, mendapat pujian atau celaan. Karena mereka yakin Allah Maha melihat setiap amal baik dan buruk sekecil apapun.

3. Dalam dakwah, akan terlihat bahwa seorang dai yang ikhlas akan merasa senang jika kebaikan terealisasi di tangan saudaranya sesama dai, sebagaimana dia juga merasa senang jika terlaksana oleh tangannya.

Para dai yang ikhlas akan menyadari kelemahan dan kekurangannya. Oleh karena itu mereka senantiasa membangun amal jama’i dalam dakwahnya. Senantiasa menghidupkan syuro dan mengokohkan perangkat dan sistem dakwah. Berdakwah untuk kemuliaan Islam dan umat Islam, bukan untuk meraih popularitas dan membesarkan diri atau lembaganya semata.

Delapan Tanda Orang Ikhlas

Tazkiyatun Nufus
25/8/2009 | 04 Ramadhan 1430 H | Hits: 1,800
Oleh: Mochamad Bugi
--------------------------------------------------------------------------------


Ayat Al Qur'an surat Al Ikhlash
Dua Syarat Amal

dakwatuna.com – Amal yang kita lakukan akan diterima Allah jika memenuhi dua rukun. Pertama, amal itu harus didasari oleh keikhlasan dan niat yang murni: hanya mengharap keridhaan Allah swt. Kedua, amal perbuatan yang kita lakukan itu harus sesuai dengan sunnah Nabi saw.

Syarat pertama menyangkut masalah batin. Niat ikhlas artinya saat melakukan amal perbuatan, batin kita harus benar-benar bersih. Rasulullah saw. bersabda, “Innamal a’maalu bin-niyyaat, sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung niatnya.” (Bukhari dan Muslim). Berdasarkan hadits itu, maka diterima atau tidaknya suatu amal perbuatan yang kita lakukan oleh Allah swt. sangat bergantung pada niat kita.

Sedangkan syarat yang kedua, harus sesuai dengan syariat Islam. Syarat ini menyangkut segi lahiriah. Nabi saw. berkata, “Man ‘amala ‘amalan laisa ‘alaihi amrunaa fahuwa raddun, barangsiapa yang mengerjakan suatu perbuatan yang tidak pernah kami diperintahkan, maka perbuatan itu ditolak.” (Muslim).

Tentang dua syarat tersebut, Allah swt. menerangkannya di sejumlah ayat dalam Alquran. Di antaranya dua ayat ini. “Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh….” (Luqman: 22). “Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan….” (An-Nisa: 125)

Yang dimaksud dengan “menyerahkan diri kepada Allah” di dua ayat di atas adalah mengikhlaskan niat dan amal perbuatan hanya karena Allah semata. Sedangkan yang yang dimaksud dengan “mengerjakan kebaikan” di dalam ayat itu ialah mengerjakan kebaikan dengan serius dan sesuai dengan sunnah Rasulullah saw.

Fudhail bin Iyadh pernah memberi komentar tentang ayat 2 surat Al-Mulk, “Liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amala, supaya Allah menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” Menurutnya, maksud “yang lebih baik amalnya” adalah amal yang didasari keikhlasan dan sesuai dengan sunnah Nabi saw.

Seseorang bertanya kepadanya, “Apa yang dimaksud dengan amal yang ikhlas dan benar itu?” Fudhail menjawab, “Sesungguhnya amal yang dilandasi keikhlasan tetapi tidak benar, tidak diterima oleh Allah swt. Sebaliknya, amal yang benar tetapi tidak dilandasi keikhlasan juga tidak diterima oleh Allah swt. Amal perbuatan itu baru bisa diterima Allah jika didasari keikhlasan dan dilaksanakan dengan benar. Yang dimaksud ‘ikhlas’ adalah amal perbuatan yang dikerjakan semata-mata karena Allah, dan yang dimaksud ‘benar’ adalah amal perbuatan itu sesuai dengan tuntunan Rasulullah saw.” Setelah itu Fudhail bin Iyad membacakan surat Al-Kahfi ayat 110, “Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaknya ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.”

Jadi, niat yang ikhlas saja belum menjamin amal kita diterima oleh Allah swt., jika dilakukan tidak sesuai dengan apa yang digariskan syariat. Begitu juga dengan perbuatan mulia, tidak diterima jika dilakukan dengan tujuan tidak mencari keridhaan Allah swt.

Delapan Tanda Keikhlasan

Ada delapan tanda-tanda keikhlasan yang bisa kita gunakan untuk mengecek apakah rasa ikhlas telah mengisi relung-relung hati kita. Kedelapan tanda itu adalah:

1. Keikhlasan hadir bila Anda takut akan popularitas

Imam Ibnu Syihab Az-Zuhri berkata, “Sedikit sekali kita melihat orang yang tidak menyukai kedudukan dan jabatan. Seseorang bisa menahan diri dari makanan, minuman, dan harta, namun ia tidak sanggup menahan diri dari iming-iming kedudukan. Bahkan, ia tidak segan-segan merebutnya meskipun harus menjegal kawan atau lawan.” Karena itu tak heran jika para ulama salaf banyak menulis buku tentang larangan mencintai popularitas, jabatan, dan riya.

Fudhail bin Iyadh berkata, “Jika Anda mampu untuk tidak dikenal oleh orang lain, maka laksanakanlah. Anda tidak merugi sekiranya Anda tidak terkenal. Anda juga tidak merugi sekiranya Anda tidak disanjung ornag lain. Demikian pula, janganlah gusar jika Anda menjadi orang yang tercela di mata manusia, tetapi menjadi manusia terpuji dan terhormat di sisi Allah.”

Meski demikian, ucapan para ulama tersebut bukan menyeru agar kita mengasingkan diri dari khalayak ramai (uzlah). Ucapan itu adalah peringatan agar dalam mengarungi kehidupan kita tidak terjebak pada jerat hawa nafsu ingin mendapat pujian manusia. Apalagi, para nabi dan orang-orang saleh adalah orang-orang yang popular. Yang dilarang adalah meminta nama kita dipopulerkan, meminta jabatan, dan sikap rakus pada kedudukan. Jika tanpa ambisi dan tanpa meminta kita menjadi dikenal orang, itu tidak mengapa. Meskipun itu bisa menjadi malapetaka bagi orang yang lemah dan tidak siap menghadapinya.

2. Ikhlah ada saat Anda mengakui bahwa diri Anda punya banyak kekurangan

Orang yang ikhlas selalu merasa dirinya memiliki banyak kekurangan. Ia merasa belum maksimal dalam menjalankan segala kewajiban yang dibebankan Allah swt. Karena itu ia tidak pernah merasa ujub dengan setiap kebaikan yang dikerjakannya. Sebaliknya, ia cemasi apa-apa yang dilakukannya tidak diterima Allah swt. karena itu ia kerap menangis.

Aisyah r.a. pernah bertanya kepada Rasulullah saw. tentang maksud firman Allah: “Dan orang-ornag yang mengeluarkan rezeki yang dikaruniai kepada mereka, sedang hati mereka takut bahwa mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.” Apakah mereka itu orang-orang yang mencuri, orang-orang yang berzina, dan para peminum minuman keras, sedang mereka takut akan siksa dan murka Allah ‘Azza wa jalla? Rasulullah saw. menjawab, “Bukan, wahai Putri Abu Bakar. Mereka itu adalah orang-orang yang rajin shalat, berpuasa, dan sering bersedekah, sementera mereka khawatir amal mereka tidak diterima. Mereka bergegas dalam menjalankan kebaikan dan mereka orang-orang yang berlomba.” (Ahmad).

3. Keikhlasan hadir ketika Anda lebih cenderung untuk menyembunyikan amal kebajikan

Orang yang tulus adalah orang yang tidak ingin amal perbuatannya diketahui orang lain. Ibarat pohon, mereka lebih senang menjadi akar yang tertutup tanah tapi menghidupi keseluruhan pohon. Ibarat rumah, mereka pondasi yang berkalang tanah namun menopang keseluruhan bangunan.

Suatu hari Umar bin Khaththab pergi ke Masjid Nabawi. Ia mendapati Mu’adz sedang menangis di dekat makam Rasulullah saw. Umar menegurnya, “Mengapa kau menangis?” Mu’adz menjawab, “Aku telah mendengar hadits dari Rasulullah saw. bahwa beliau bersabda, ‘Riya sekalipun hanya sedikit, ia termasuk syirik. Dan barang siapa memusuhi kekasih-kekasih Allah maka ia telah menyatakan perang terhadap Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang baik, takwa, serta tidak dikenal. Sekalipun mereka tidak ada, mereka tidak hilang dan sekalipun mereka ada, mereka tidak dikenal. Hati mereka bagaikan pelita yang menerangi petunjuk. Mereka keluar dari segala tempat yang gelap gulita.” (Ibnu Majah dan Baihaqi)

4. Ikhlas ada saat Anda tak masalah ditempatkan sebagai pemimpin atau prajurit

Rasulullah saw. melukiskan tipe orang seperti ini dengan berkataan, “Beruntunglah seorang hamba yang memegang tali kendali kudanya di jalan Allah sementara kepala dan tumitnya berdebu. Apabila ia bertugas menjaga benteng pertahanan, ia benar-benar menjaganya. Dan jika ia bertugas sebagai pemberi minuman, ia benar-benar melaksanakannya.”

Itulah yang terjadi pada diri Khalid bin Walid saat Khalifah Umar bin Khaththab memberhentikannya dari jabatan panglima perang. Khalid tidak kecewa apalagi sakit hati. Sebab, ia berjuang bukan untuk Umar, bukan pula untuk komandan barunya Abu Ubaidah. Khalid berjuang untuk mendapat ridha Allah swt.

5. Keikhalasan ada ketika Anda mengutamakan keridhaan Allah daripada keridhaan manusia

Tidak sedikit manusia hidup di bawah bayang-bayang orang lain. Bila orang itu menuntun pada keridhaan Allah, sungguh kita sangat beruntung. Tapi tak jarang orang itu memakai kekuasaannya untuk memaksa kita bermaksiat kepada Allah swt. Di sinilah keikhlasan kita diuji. Memilih keridhaan Allah swt. atau keridhaan manusia yang mendominasi diri kita? Pilihan kita seharusnya seperti pilihan Masyithoh si tukang sisir anak Fir’aun. Ia lebih memilih keridhaan Allah daripada harus menyembah Fir’aun.

6. Ikhlas ada saat Anda cinta dan marah karena Allah

Adalah ikhlas saat Anda menyatakan cinta dan benci, memberi atau menolak, ridha dan marah kepada seseorang atau sesuatu karena kecintaan Anda kepada Allah dan keinginan membela agamaNya, bukan untuk kepentingan pribadi Anda. Sebaliknya, Allah swt. mencela orang yang berbuat kebalikan dari itu. “Dan di antara mereka ada orang yang mencela tentang (pembagian) zakat. Jika mereka diberi sebagian daripadanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebagian daripadanya, dengan serta merta mereka menjadi marah.” (At-Taubah: 58)

7. Keikhalasan hadir saat Anda sabar terhadap panjangnya jalan

Keikhlasan Anda akan diuji oleh waktu. Sepanjang hidup Anda adalah ujian. Ketegaran Anda untuk menegakkan kalimatNya di muka bumi meski tahu jalannya sangat jauh, sementara hasilnya belum pasti dan kesulitan sudah di depan mata, amat sangat diuji. Hanya orang-orang yang mengharap keridhaan Allah yang bisa tegar menempuh jalan panjang itu. Seperti Nabi Nuh a.s. yang giat tanpa lelah selama 950 tahun berdakwah. Seperti Umar bin Khaththab yang berkata, “Jika ada seribu mujahid berjuang di medan juang, aku satu di antaranya. Jika ada seratus mujahid berjuang di medan juang, aku satu di antaranya. Jika ada sepuluh mujahid berjuang di medan juang, aku satu di antaranya. Jika ada satu mujahid berjuang di medan juang, itulah aku!”

8. Ikhlas ada saat Anda merasa gembira jika kawan Anda memiliki kelebihan

Yang paling sulit adalah menerima orang lain memiliki kelebihan yang tidak kita miliki. Apalagi orang itu junior kita. Hasad. Itulah sifat yang menutup keikhlasan hadir di relung hati kita. Hanya orang yang ada sifat ikhlas dalam dirinya yang mau memberi kesempatan kepada orang yang mempunyai kemampuan yang memadai untuk mengambil bagian dari tanggung jawab yang dipikulnya. Tanpa beban ia mempersilakan orang yang lebih baik dari dirinya untuk tampil menggantikan dirinya. Tak ada rasa iri. Tak ada rasa dendam. Jika seorang leader, orang seperti ini tidak segan-segan membagi tugas kepada siapapun yang dianggap punya kemampuan.

Sabtu, 22 Agustus 2009

Keteladanan Murabbi

Keteladanan Murabbi
Fiqih Dakwah
28/5/2008 | 23 Jumadil Awal 1429 H | Hits: 3,531
Oleh: Tim dakwatuna.com
--------------------------------------------------------------------------------


dakwatuna.com – Pernahkah Anda mengalami suatu saat ketika Anda membuka mushaf dan Anda mulai membaca Al-Qur’an kemudian anak-anak Anda datang mendekati Anda sambil membawa buku Iqra’nya lalu mereka melakukan hal yang sama seperti apa yang tengah anda lakukan? Pernahkah Anda mendapatkan mutarabbi (objek dakwah/peserta didik/murid) Anda mengerjakan shaum (puasa) sunnah padahal Anda secara eksplisit tidah pernah menyuruhnya? Hal tersebut dilakukan oleh mutarabbi Anda hanya karena ia mendapatkan Anda juga melakukan shaum sunnah pada hari-hari sebelumnya. Pernahkah Anda mengalami khadimat Anda perlahan-lahan menyesuaikan diri dan penampilannya di tengah-tengah keluarga Anda, mulai terbiaasa mengenakan gaun panjang, memakai kerudung walau pada awalnya cuma nempel di atas kepala, tapi toh lama kelamaan ia menjadi terbiasa berjilbab baik ketika ia bekerja di dalam rumah apalagi di luar rumah? Padahal isteri Anda belum pernah berkata kepadanya bahwa memakai jilbab itu wajib, apalagi memperdengarkannya ayat Al-Qur’an yang berkenaan dengan kewajiban menutup aurat baik dalam surat An-Nur maupun Al-Ahzab.

Itulah buah dari keteladanan. Ketealadanan adalah cara berdakwah yang paling hemat karena tidak menguras enerji dengan mengobral kata-kata. Bahkan bahasa keteladanaan jauh lebih fasih dari bahasa perintah dan larangan sebagaimaana pepatah mengatakan: “Lisaanul hal afshahu min lisaaanil maqaaal”, bahasa kerja lebih fasih dari bahasa kata-kata. Dalam ungkapan lain keteladanan ibarat tonggak, dimana bayangan akan mengikuti secara alamiah sesuai dengan keaadaan tonggak tersebut, lurusnya, bengkoknya, miringnya, tegaknya. Benarlah pepatah ini: “Kaifa yastaqqimudzdzhillu wal ‘uudu a’waj”, bagaimana bayangan akan lurus bila tonggaknya bengkok.

Oleh karena itu, penting bagi para murabbi (dai/pendidik/guru/orang tua) untuk berusaha semaksimal mungkin menjadi figur murabbi teladan agar keteladanaannya memberi keberkahan bagi perkembangan dakwah dan peningkatan kualitas maupun kuantitas para mutarabbi yang mereka bina. Karena itu para murabbi pun perlu berinteraksi dengan tokoh-tokoh yang tercatat sejarah sebagai murabbi teladan, setidaknya melalui suratun hayawiyyah (gambaran kehidupan mereka), khusunya dalam melakukan aktivitas pentarbiyahan (mendidik mutarabbi).

Perhatikanlah kehidupan Murabbi hadzihil ummah, Rasulullah saw. Telusuri keteladanan figur murabbi pada diri sahaabatnya, para tabi’in, dan ulama salaafussalih. Aina nahnu minhum? Kita sungguh tidak ada apa-apanya dibanding mereka. Bahkan rasanya mustahil bisa sama dengan mereka. Itulah satu perasaan yang akan terlintas di benak kita ketika mengetahui keteladaanaan mereka sebagai murabbi. Tetapi kita dinasihati oleh satu pepatah: tasyabbahu in lam takuunuu mislahum, Innattasyabbuha bil kiraami falaahun, teladanilah meski tidak sama persis dengan mereka, sesungguhnya meneladanani orang-orang mulia adalah satu keberuntungan.

Keteladanan Rasulullah saw.

Sebagai murabbi Rasulullah saw. selalu melakukan pendekatan komunikasi sebagaimana yang direkomendasikan Al-Qur’anm yaitu qaulan layyinan (Thaha: 44), qaulan maysuran (Al-Isra’: 28), qaulan ma’rufan (As-Sajdah: 32), qaulan balighan (An-Nisa’: 63), qaulan sadidan (An-Nisa’: 9), dan qaulan kariman (Al-Ahzab: 31).

Sebagai murabbi, Rasulullah saw. tidak pernah memojokkan mutarabbi dengan kata-kata, apalagi hal itu dilakukan di hadapan orang lain. Diriwayatkan oleh Abi Humaid Abdirrahman bin Sa’ad As-Sa’idy r.a., ia berkata, “Nabi saw. telah mengutus seseorang yang bernama Ibnu Lutbiyyah sebagai amil zakat. Setelah selesai dari tugasnya lalu ia menghadap Raasulullah saw. seraya berkata, ‘Ini hasil dari tugas saya, saya serahkan kepadamu. Dan yang ini hadiah pemberian orang untuk saya.” Lalu Rasulullah saw. segera naik ke atas mimbar. Setelah menyampaikan puja dan puji kehadirat Allah swt., beliau berkhutbah seraya berkata, “Sesungguhnya aku megutus seseorang di antara kalian sebagai amil zakat sebagaimaana yang telah diperintahkan oleh Allah swt. kepadaku, lalu ia datang dan berkata: ‘Ini untuk engkau dan yang ini hadiah untukku. Jika orang itu benar, mengapa dia tidak duduk saja di rumah bapak atau Ibunya sehingga hadiah tersebut datang kepadanya. Demi Allah, tidaklah mengambil seseorang sesuatu yang bukan haknya melainkan kelak dia bertemu dengan Allah swt. membawa barang yang bukan menjadi haknya.” Lalu Rasulullah saw. mengangkat kedua belah tangannya hingga tampak ketiaknya seraya berkata, “Ya Allah, telah aku sampaikan. Ya Allah, telah aku sampaikan. Ya Allah, telah aku sampaikan. ” (Bukhari dan Muslim)

Rasulullah juga tidak pernah menjaga jarak dengan mutarabbinya. Sehingga tidak terjadi kesenjangan psikologis antara mutarabbi dengan murabbi. Hal ini dapat dilihat dari dialog lepas antara Jabir bin Abdillah dengan Rasulullah saw. “Aku pernah keluar bersama Rasulullah saw. pada peperangan Dzatirriqa’. Aku mengendarai seekor onta yang lamban jalannya sehingga aku tertinggal jauh dari Rasulullah saw. Kemudian Rasulullah saw. menemuiku seraya berkata, “Kenapa engkau, hai Jabir? ” “Ontaku, ya Rasulallah, jalannya lamban sekali,” balasku. Kemudian Rasulullah berkata lagi, “Berikan kepadaku tongkat yang ada di tanganmu atau berikan aku sepotong kayu.” Aku berikan kepadanya dan beliau pun memukulkan kayu tersebut secara perlahan ke onta saya. Lalu beliau menyuruhku menaiki onta itu. Demi Allah, tiba-tiba ontaku berjalan dengan sangat cepat.

Kemudian obrolan berlanjut. Rasulullah saw. bertanya kepadaku, “Hai Jabir, apakah engkau sudah kawin?” “Sudah, ya Rasulallah,” jawabku. “Dengan janda atau gadis?” tanya beliau lagi. “Dengan janda, ya Rasul,” tegasku. “Kenapa tidak dengan gadis saja sehingga engkau dapat bersenang-senang dengannya dan ia dapat bersenang-senang denganmu?” balas Rasulullah saw. dengan nada bertanya. Lalu aku menjelaskan, “Ya Rasulullah, sesungguhnya ayahku meninggal pada Perang Uhud dan meninggalkanku saudara perempuan sebanyak tujuh orang. Maka dari itu aku menikahi seorang wanita yang sekaligus dapat menjadi pengasuh dan pembimbing mereka.” Kemudian Rasulullah berkata, “Engkau benar, insya Allah.”

Keteladanaan Para Sahabat r.a.

Di antara para sahabat yang paling menonjol keteladanannya adalah Abu bakar As-Shiddiq r.a. Bukan hanya karena ia adalah satu-satunya sahabat yang mendapat gelar as-sihiddiq dan juga bukan hanya karena satu-satunya sahabat yang menemani Rasulullah saw. dalam perjalanaan hijrah ke Madinah. Tetapi lebih dari itu, karena Abu Bakar layak disebut sebagai murabbi hadzihil ummah sepeninggalnya Rasulullah saw. Beliaulah yang memandu akidah dan fikrah para sahabat yang lainnya ketika mereka masih belum legowo menerima berita wafatnya Rasulullah saw., bahkan termasuk Umar bin khattab r.a. Pada saat itulah Abu bakar memberikan taujih tarbawy dengan membacakan firman Allah swt. dalam surat Ali Imran ayat 144, seraya menambahkan penjalasan dengan kata-kata hikmahnya, “Man kaana ya’budu muhammadan fainna muhammad qod maata, wa man kaana ya’budullaha fainnallaha hayyun laa yamuutu, barangsiapa yang menyembah Muhammad, sesungguhnya Muhammad telah tiada; tetapi barangsiapa yang menyembah Allah swt., sesungguhnya Allah Hidup dan tidak akan mati.” Itulah keteladanan Abu Bakar dalan menyemai benih-benih tarbiyah, khusunya tarbiyah aqidiyah.

Ketika dua pertiga Jazirah Arab ditimpa gerakan pemurtadan (harakatul irtidad), dalam bentuk pembangkangan tidak mau membayar kewajiban zakat, lagi-lagi Abu bakar tampil sebagai pelopor. Dengan ketegasan sebagai murabbi, Abu Bakar menegakkan amar ma’ruf nahi munkar dengan memerangi mereka. Banyak para sahabat, termasuk Umar bin Khattab, masih beranggapan bahwa bukan itu jalan keluar untuk menghentikan gelombang kemurtadan. Abu Bakar langsung memberikan pelajaran kepada para sahabat khususnya Umar dengan kalimat, “Hatta anta, ya Umar, ajabbaarun fil jahiliyah hhawwarun fil Islam? Wallaahi, laa yanqushuddinu wa anaa hayyun, lau mana’uuni ‘uqqaalu ba’iirin yuadduunahi ila Rasuulillah lahaarabtuhu hatta tansalifa saalifaty, sampai engaku juga, Ya Umar. Apakaah engkau hanya tampak perkasa pada masa jahiliyah kemudian jadi ragu pada masa Islam? Demi Allah, tidak akan berkurang agama ini (Islam) sedikitpun selama aku masih hidup, walaupun mereka tidak memberikan hanya seutas tali onta yang harus diberikan kepada Rasulullah, maka tetap akan ku perangi mereka sampaai urat leherku terputus.”

Bahkan keteladan Abu Bakar sebagai murabbi bukan hanya dengan kata-kata, tetapi juga langsung dibarengi dengan sikap dan tindakan kongkret agar menjadi contoh bagi para sahabat yang lain. Misalnya pada saat sebagian besar para sahabat (kibaarus shahabah) keberataan dengan diangkatnya Usamah Bin Zaid, padahal hal itu telah menjadi ketetapan komando Rasulullah saw. sebelum wafatnya. Abu Bakar berazam untuk tidak membatalkan apa yang telah ditetapkan Rasulullah saw. seraya mengiringi pelepasan ekspedisi Usamah dengan menuntun kudanya sampai perbatasan. Sejak awal Usamah merasa tidak enak karena Abu Bakar berjalan kaki sementara ia berada di atas kudanya. Lalu Usamah menawarkaan agar ia turun, Abu Bakar saja yang naik kuda. Abu Bakar berkata, “Wallahi maa rakibtu wa maa nazalta, wa maa lialaa ughabbira qadami fi sabilillaah, Demi Allah, aku tidak mau naik dan engkau juga tidaak perlu turun. Biarkanlah kakiku bersimbah debu di jalan Allah.”

Keteladanan Ulama Salafusshalih

Salah satu di antara mereka adalah Atho bin Abi Rabaah rahimahullah. Beliau memimpin halaaqah (kelompok pengajian) besar di Masjidil Haram semasa Sulaiman bin Abdil Malik menjadi Khalifah. Khalifah sering menghadiri halaqah Atho bin Abi Rabah. Padahal Atho adalah seorang habsyi (negro asal Ethiopia) yang pernah menjadi budak seorang wanita penduduk Kota Mekkah. Atho dimerdekakan karena kepandaiannya dalam mendalami ajaran Islam.

Keteladanan Atho bin Abi Rabaah sebagai murabbi adalah kelembutannya dan ketajaaman nasihatnya serta pandangan dan perhatianya yang penuh kasih sayang. Itu seperti yang dikisahkan Muhammad bin Suqah, salah seorang ulama Kufah, bahwa suatu ketika Atho bin Abi Rabaah menasihatinya, “Wahai anak saudaraku, sesungguhnya orang-orang sebelum kita tidak menyukai pembicaraan yang berlebihan.” “Lalu apa batasannnya pembicaran yang berlebihan?” tanyaku. Beliau melanjutkan nasihatnya, “Mereka mengkategorikan pembicaraan berlebih bila dilakukan selain dari Al-Qur’an yang dibaca dan difahami; atau hadits Rasulullah yang diriwayatkan; atau berkenaan dengan amar ma’ruf nahi munkar; atau pembicaraan tentang satu hajat, kepentingan dan persoalan maisyah.” Kemudian beliau mengarahkan pandangannya kepadaku seraya berkata, “Atunkruuna (Inna ‘alaikum laahaafidzhiin, kiraaman kaatibiin) (Al-infithar: 10-11), wa anna ma’a kullin (‘minkum malakaini Anil yamiini wa ‘anisshimaali Qa’iid, maa yalfidzhu min qaulin illaa laadaaihi raqiibun ‘atiid) (Qaf: 17-18), Amaa yatahyii aahaduna lau nusyirat alaihi shahiifatuhullatii amlaa’aahaa shdra naahaarihi, faawaajada aktsara maa fiihaa laaisa min amri diinihi walaa amri dunyaahu.”

Kapabilitas takwiniyah (kemampuan membentuk pribadi mutarabbi) Atha bin Abi Rabaah dalam mentarbiyah bukan hanya kepada kalangan pembesar dan terpelajar, tapi sampai seorang tukang cukur. Ini sebagaimana dikisahkan oleh Imam Abu hanifah. “Aku melakukan kesalahan dalam lima hal tentang manasik haji, lalu aku diajarkan oleh seorang tukang cukur, yaitu ketika aku ingin selesai dari ihram. Aku mendatangi salah seorang tukang cukur, lalu aku berkata kepadaanya, berapa harganya? “Semoga Allah menunjukimu. Ibadah tidak mensyaratkan soal harga. Duduk sajalah dulu. Soal harga gampang,” jawab tukang cukur. Waktu itu aku duduk tidak menghadap kiblat, lantas ia mengarahkan dudukku hingga menghadap kiblat. Kemudian menunjukkan bagian kiri kepalaku, lalu ia memutarnya sehingga mulai mencukur kepalaku dari sebelah kanan.

Ketika aku dicukur, ia melihatku diam saja. Lalu ia menegurku, “Kenapa koq diam saja? Ayo perbanyaklah takbir.” Maka aku pun bertakbir. Setelah selesai, aku hendak langsung pergi. Lalu ia berkata, “Mau kemana kamu?” “Aku mau ke kendaraanku,” jawabku. Tukang cukur itu mencegahku seraya berkata, “Shalat dulu dua rakaat, baru kau boleh pergi kemana kau suka.” Aku berkata dalam hati, tidak mungkin tukang cukur bisa seperti ini kalau bukan dia orang alim. Lalu aku berkata kepadanya, “Dari mana engkau dapati mengenai beberapa manasik yang kau perintahkan kepadaku?” “Demi Allah, aku melihat Atho bin Abi Rabaah mempratekkan hal itu, lalu aku mengikutinya, dan aku arahkan orang banyak untuk belajar kepadanya,” jawab tukang cukur alim tersebut.

Di antara kebiasaan baik ulama salafusshalih dan keteladanan mereka dalam mentarbiyah adalah ketika memberikan materi mereka tidak terkesan bersikap santai atau memberikannya sambil duduk bersandar. Tetapi mereka menunjukan sikap yang sigap dan penuh semangat sebagaimana telah menjadi sikap umum di kalangan mereka ketika menyampaikan materi. Hal itu terungkap dari pernyataan salah seorang di antara mereka, “Laa yanbaghi lanaa idzaa dzukira fiinasshalihuna jalasnaa wa nahnu mustaniduuna, tidaklah pantas bagi kita ketika disebutkan di tengah-tengah kita orang-orang yang shaleh, lalu kita duduk sambil bersandar.”

Adalah Said Ibnul Musayyib rahimahullah (juga seoarang murabbi yang keteladanannya patut dicontoh oleh para murabbi). Ia memimpin halaqah yang cukup besar di Masjid Nabawi. Si samping beliau, juga terdapat halaqah ‘Urwah bin Zubair dan Abdullah bin ‘Utbah rahimahumallah. Said Ibnul Musayyib mempunyai seorang mutarabbi, namanya Abu Wada’ah. Suatu ketika Abu Wada’ah beberapa kali tidak hadir. Tentu saja Said bin Musayyib merasa kehilangan mutarabbinya itu. Beliau khawatir kalau-kalau ketidakhadirannya lantaran sakit atau ada masalah yang menimpanya. Lalu beliau bertanya kepada murid-muridnya yang lainnya. Namun tidak ada yang tahu. Beberapa hari kemudian tiba-tiba Abu Wada’ah datang kembali sebagaimana biasa. Maka sang murabbi teladan Said bin Musayyib segera menyambut kedatangannya dengan sapaan yang penuh perhatian. “Kemana saja engkau, ya Aba Wada’ah?” “Isteriku meninggal dunia sehingga aku sibuk mengurusinya,” jawab Abu wada’ah. “Mengapa tidak beritahu kami sehingga kami bisa menemanimu dan mengantarkan jenazah isterimu serta membantu segala keperluanmu?” tanya Said kembali. “Jazaakallahu khairan,” jawab Abu Wada’ah yang terkesan memang sengaja tidak memberi tahu karena khwatir merepotkan murabbinya.

Tidak lama kemudian Said bin Musayyib menghampiri Abu Wada’ah dan membisikinya, “Apakah engkau belum terpikir untuk mencari isteri yang baru, ya Aba Wada’ah?” “Yarhamukallah, siapa orangnya yang mau mengawini anak perempunnya dengan pemuda macamku yang sejak kecil yatim, fakir, dan hingga sekarang ini aku hanya memiliki dua sampai tiga dirham,” tandas Abu Wada’ah yang tampaknya ingin bersikap realistis terhadap keadaan dirinya. “Aku yang akan mengawinimu dengan anak perempuanku,” tegas Said. Dengan terbata-bata Abu Wada’ah berucap, ” Eng… engkau akan mengawiniku dengan anak perempuanmu padahal engkau tahu sendiri bagaimana keadaanku.” “Ya, kenapa tidak? Karena kami jika sudah kedataangan seseorang yang kami ridha terhadap agamanya dan akhlaknya, maka kami kawinkan orang itu. Dan engkau termasuk orang yang kami ridhai,” jawab Said meyakinkan mutarabbinya.

Lalu dipanggillah orang-orang yang ada di halaqah tersebut untuk menyaksikan akad nikah dengan mahar sebanyak dua dirham. Abu Wada’ah benar-benar terkejut tak tahu harus berkata apa. Antara kaget daan girang ia pulang menuju rumahnya. Sampai-sampai ia lupa kalau hari itu ia sedang shaum karena di tengah perjalanan ia terus berpikir dari mana ia akan menafkahkan isterinya, atau berhutang dengan siapa? Tak terasa ia sudah sampai di rumah dan adzan maghrib pun tiba. Lalu ia berbuka dengan sepotong roti. Baru saja menikmati rotinya, tiba-tiba ada suara yang mengetuk pintu. “Siapa yang mengetuk pintu,” tanyanya dari dalam rumah. “Said,” jawab suara di balik pintu yang sepertinya ia mengenalinya.

Setelah dibukanya tiba-tiba sang murabbi sudah ada di hadapannya. Abu Wada’ah mengira telah terjadi “sesuatu” dengan pernikahannya, lalu ia langsung menyapa sang murabbi seraya berkata, “Ya Aba Muhammad, mengapa tidak engkau utus seseorang memanggilku sehingga aku yang datang menemuimu.” “Tidak. Engkau lebih berhak aku datangi hari ini.” Setelah dipersilakan masuk, Said langsung mengutarakan maksud kedatangannya. “Sesungguhnya anak perempuanku telah sah menjadi isterimu sesuai dengan syari’at Allah swt. sejak tadi pagi. Dan aku tahu tidak ada seorang pun yang menemanimu, menghiburmu, dan melipur kesedihanmu, maka aku tidak ingin engaku bermalam pada hari ini di suatu tempat sedang isterimu masih berada di tempat lain. Sekarang aku datang dengan anak perempuanku ke rumahmu.”

Lalu Said menoleh ke arah puterinya seraya berkata, “Masuklah engkau ke rumah suamimu, wahai Puteriku, dengan menyebut asma Allah dan memohon barakah-Nya.” Masuklah anak perempuan Said dan ketika melangkahkan kakinya nyaris keserimpet (terinjak gaunnya) hingga hampir jatuh karena saking malunya. “Sedang aku juga cuma berdiri di hadapanya kaget campur bingung tak tahu harus berkata apa,” kata Abu Wada’ah mengenang kejadian itu. Tapi kemudian ia cepat-cepat mendahului isterinya ke dalam ruangan, lalu ia jauhkan cahaya lampu dari sepotong roti yang memang tinggal segitu-gitunya supaya tidak terlihat oleh isterinya. Baru setelah itu ia keluar rumah memanggil ibunya untuk menemui menantu barunya.

Itulah keteladanan Said bin Musayyib yang menolak pinangan Abdul Malik bin Marwan, Khalifah Bani Umayyah yang ingin meminang putrinya. Ia malah segera menikahkan puterinya dengan Abu Wada’ah, mutarabbinya yang sederhana dan tidak diragukan lagi kualitas tarbiyahnya.

Lain lagi dengan kisah Imam Abu Hanifah. Ia dikenal dengan nama Nu’man bin Tsabit rahimahullah. Beliau seorang murabbi yang wajahnya selalu enak dipandang. Wajahnya berseri-seri. Pengtahuannya dalam. Manis tutur katanya, rapih penampilannya, dan selalu memakai wangi-wangian. Jika beliau datang ke majelis taklimnya, semua orang yang ada di situ sudah mengetahuinya sebelum mereka melihatnya lantaran semerbak wewangian yang dipakainya.

Di samping cerdas, alim, faqih, beliau juga dikenal sebagai murabbi yang dermawan. Maklum, beliau seorang saudagar pakaian, kain, dan sutera. Beliau berdagang berkeliling dari kota satu ke kota lain di wilayah Irak.

Suatu ketika salah seorang muridnya datang ke tempat jualannya. Ia minta dicarikan baju, lalu beliau mencarinya sesuai dengan warna yang dimintanya. “Berapa harganya?” tanya sang murid. “Sedirham,” jawab Imam. “Satu dirham?” tanya sang murid heran. Itu sangat murah. “Ya, segitu.” “Yang benar nih….” kata muridnya lagi. “Aku tidak main-main. Aku beli baju ini dan yang serupa lagi dengannya seharga dua puluh dinar emas dan satu dirham perak. Yang satu aku sudah aku jual, sedang yang sisanya ini aku jual kepadamu dengan harga sedirham. Aku memang tidak mau mengambil untung terhadap murid-muridku.”

Suatu ketika Imam Abu Hanifah melihat salah seorang mutarabbinya berpakaian lusuh sehingga terkesan tidak enak dipandang. Setelah murid-murid yang lain keluar dari majelis, sehingga tidak ada seorangpun di dalam majelis itu selain Imam Abu Hanifah dengan mutarabbinya tersebut, beliau berkata kepadanya, “Angkatlah sajadah ini lalu ambil sesuatu yang ada di bawahnya.” Setelah diambilnya ternyata uang sebanyak seribu dirham. “Ambilah uang itu dan perbaikilah penampilanmu,” tegas Imam Abu Hanifah. Lalu kata orang itu, “Aku sudah cukup. Allah telah melimpahkan nikmatnya kepadaku. Aku tidak membutuhkan uang ini.” Dengan cerdasnya Imam Abu Hanifah menyanggah omongan mutarabbinya itu, “Jika memang benar-benar telah melimpahkan nikmatnya kepadamu, lalu mana bukti kenikmatan-Nya itu? Bukankah Rasulullah saw. bersabda, ‘Innallaha yuhibbu an yaraa aaatsara ni’matihi ‘ala ‘abdihi, sesungguhnya Allah swt. senang melihat bukti kenikmatan yang diberi-Nya terlihat pada hamba-Nya? Karena itu, sudah sepantasnya engkau memperbaiki keadaanmu agar engkau tidak membuat sedih saudaramu.”

Itulah beberapa keteladan ulama salafussalih dalam mentarbiyah para mutarabbinya. Wallahu ‘alamu bisshawaab.

Berdakwah dengan Hati

Berdakwah dengan Hati
Fiqih Dakwah
20/8/2009 | 28 Sya'ban 1430 H | Hits: 457
Oleh: Tim dakwatuna.com
--------------------------------------------------------------------------------


dakwatuna.com - “Maka disebabkan rahmat Allah atasmu, kamu berlaku lemah lembut kepada mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkan mereka dan mohonkanlah ampun bagi mereka…”(QS.:3:159)
Saudaraku, Sejarah telah memaparkan pancaran pesona akhlaq Rasulullah dalam perjuangan dakwah beliau sebagai suri teladan bagi kita (QS.:33:21). Kemudian Allah SWT menguatkan dengan firman-Nya “wa innaka la’alaa khuluqin ‘azhiim. Dan sesungguhnya engkau memiliki akhlak yang mulia.”(QS.:68:4). Tentunya ini merupakan pelajaran yang sangat berharga bagi kita. Rumusan nyata dan gamblang tentang model manusia terbaik. Maka siapa yang ingin berhasil dalam mengemban tugas dakwah sebagaimana Rasul, hendaklah mengikuti jejak langkah Rasulullah dan menerapkan akhlaq Rasulullah dalam segenap aktivitas kehidupannya.

Dulu sering kita jumpai keluhan-keluhan dan kekecewaan terhadap penanganan dakwah di kalangan para mutarobbi –binaan atau murid ngaji atau anggota tarbiyah-. Fenomena berjatuhannya para aktivis dakwah, ditambah lagi dengan ketidaksukaan mereka terhadap pola dakwah ternyata – menurut mereka – disebabkan karena seringnya mereka menerima perlakuan yang tidak bijaksana.

Jawaban sederhana dari permasalahan di atas boleh jadi karena ketidak utuhan kita dalam meneladani Rasul atau bahkan mungkin karena kita belum mampu menanamkan akhlaq Rasul pada diri mereka. Akibatnya kita sering tidak sabar dan tidak bijaksana menyikapi mereka, sementara merekapun terlalu mudah tersinggung dan cengeng menyikapi teguran dan nasihat yang mereka anggap sebagai pengekang kebebasan. Komunikasi yang tidak sehat ini sebenarnya bisa diatasi dengan menyadari sepenuh hati akan begitu pentingnya penanaman dan penerapan akhlaq Rasulullah dalam berbagai pendekatan dakwah. Ditinjau dari segi juru dakwah, keinginan meluruskan, teguran, penugasan, sindiran dan sebagainya sebenarnya dapat dikemas dengan akhlaq. Begitupun dari segi mad’u –peserta dakwah atau yang didakwahi- ; ketidakpuasan, ketersinggungan, perasaan terkekang dan kejenuhan juga dapat diredam dengan akhlaq. Akhlaq menuntun kepada kemampuan untuk saling menjaga perasaan, saling memaklumi kesalahan dan mengantarkan kepada penyelesaian terbaik.

Banyak murabbi –pembina atau yang mentarbiyah- yang dikecewakan dan ditinggalkan binaaanya, tapi dia mampu mengemas luka itu dengan empati dan terus mendoakan kebaikan bagi binaannya. Bahkan diiringi harapan suatu saat Allah swt. mengembalikan binaannya dalam aktvitas dakwah, walaupun mungkin bukan dalam penanganannya. “Mungkin dengan saya tidak cocok, tapi semoga dengan murabbi lain cocok”. Ada mutarabbi yang diperlakukan tidak bijaksana oleh murabbinya namun akhlaq menuntunnya untuk mengerti dan menyadari bahwa murabbinya bukan nabi, sehingga dia tidak dendam dan menjelek-jelekkan murabbinya, melainkan tetap merasa bahwa murabbi dengan segala kekurangannya telah berjasa banyak padanya. Dia tidak membenci dakwah meskipun dia dikecewakan oleh seorang aktivis dakwah.

Di antara nilai-nilai akhlaq yang semuanya mesti kita tanamkan dalam diri kita masing-masing adalah dua nilai yang cukup relevan dengan kelancaran dakwah, yaitu kelembutan dan rendah hati.

Kelembutan adalah perpaduan hati, ucapan dan perbuatan dalam upaya menyayangi, menjaga perasaan, melunakkan dan memperbaiki orang lain. Kelembutan adalah kebersihan hati dan keindahan penyajian yang diwujudkan dalam komunikasi lisan maupun badan. Bukanlah kelembutan bila ucapannya lembut tapi isinya penuh dengan kata-kata kasar menyakitkan (nyelekit). Bukan pula kelembutan bila menyampaikan kebenaran tapi dengan caci maki dan bentakan.

Berwajah manis penuh senyum, memilih pemakaian kata yang benar dan pas (qaulan sadidan), memaafkan, memaklumi, penuh perhatian, penuh kasih sayang adalah tampilan kelembutan. Wajah sinis, penuh sindiran yang terkadang tanpa tabayyun, buruk sangka, ghibah, mendendam, emosional merupakan kebalikan dari sifat kelembutan.

Rendah hati merupakan perpaduan hati, ucapan dan perbuatan dalam upaya mendekatkan atau mengakrabkan, melunakkan keangkuhan, menumbuhkan kepercayaan, membawa keharmonisan dan mengikis kekakuan. Angkuh, sok pintar dan hebat, merasa paling berjasa, merasa levelnya lebih tinggi, minta dihormati, enggan menegur atau menyapa lebih dulu, tidak mau diperintah, sulit ditemui atau dimintai tolong dengan alasan birokratis, menganggap remeh, cuek dan antipati merupakan lawan dari rendah hati. Allah swt. berfirman dalam surah Asy Syu’araa ayat 215 “Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang beriman yang mengikuti kamu.”

Bila Rasulullah saw. saja dengan berbagai pesona dan kelebihannya diperintah untuk tawadhu (dan Rasul telah menjalankan perintah itu), tentulah kita yang apa adanya ini harus lebih rendah hati. Rendah hati terhadap murabbi, rendah hati terhadap mutarabbi dan rendah hati terhadap seluruh orang-orang beriman menunjukkan penghormatan kita pada Rasul dan pada kebenaran Al-Qur’an. Sebaliknya, keangkuhan dan perasaan lebih dari orang lain menandakan masih jauhnya kita dari Al-Qur’an dan Hadist.

Saudaraku, Marilah kita lebih mengaplikasikan apa-apa yang sudah kita ketahui. Betapa pemahaman kita tentang pentingnya akhlak dalam mengantarkan pada kesuksesan dakwah mungkin sudah cukup mumpuni. Namun tinggal bagaimana kita terus meningkatkan penerapan nilai-nilai akhlaq itu dalam kehidupan kita sehari-hari, khususnya dalam mengemban tugas dakwah. Telah dan akan terus terbukti bahwa sambutan masyarakat terhadap dakwah adalah di antaranya karena pesona akhlaq kita, kelembutan kita, memaklumi, mengingatkan dan meluruskan mereka dan kerendahhatian kita untuk terus bersabar mendekati dan menemani hari-hari mereka dengan dakwah kita. Dalam konteks khusus pun demikian, betapa kelembutan dan kerendahhatian ternyata lebih melanggengkan atau mengawetkan binaan-binaan kita untuk terus berdakwah bersama kita.

Saudaraku, Hendaknya dari hari ke hari kita terus mengevaluasi diri, membenahi akhlaq kita dan memantaskan diri (sepantas-pantasnya) sebagai seorang juru dakwah. Memang kita manusia biasa yang penuh salah dan kekurangan, namun janganlah itu menjadi penghalang kita untuk bermujahadah diri menuju kepada kedewasaan sejati. Masa lalu yang kasar dan angkuh hendaklah segera pupus dari diri kita. Kita mulai membiasakan diri untuk lembut di tengah keluarga, di antara aktivis dakwah hingga ke masyarakat luas. Kita mesti melatih kerendahhatian di tengah murid-murid kita, dengan sesama aktivis, pada murabbi kita hingga ke seluruh masyarakat. Dan pada akhirnya nanti insya Allah kita dapatkan keberhasilan dakwah Rasulullah terulang kembali, lewat hati, ucapan dan perbuatan kita yang telah diwarnai nilai-nilai akhlaq.

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Serulah mereka ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah dengan cara yang baik pula. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalanNya dan Dialah yang mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS 16:125). Allahu a’lam

Soal Sesat, Benarkah Hanya Tuhan yang Tahu?

Soal Sesat, Benarkah Hanya Tuhan yang Tahu?
Tuesday, 21 July 2009 12:41 .

Tidak berdasar orang muslim yang mengatakan bahwa manusia tidak berhak mengatakan siapa manusia yang sesat dan siapa tidak sesat
Oleh: Zarnuzi Ghufron*

Hidayatullah.com--"Siapa yang punya otoritas untuk menilai sesat, siapa yang yang tahu faham ini sesat atau tidak, tiada yang berhak untuk menilai sesat kecuali Tuhan".

Kalimat-kalimat seperti ini akhir-akhir ini sering kita dengar, baik di televisi atau di media tulis, diungkapkan oleh orang yang menolak penilaian suatu faham tertentu, seperti Ahmadiyah, Lia Aminudin, dan lainnya sebagai faham yang sesat. Menurut mereka, yang mengetahui sesat atau tidak hanyalah Tuhan. Di antara mereka ada yang mencoba menukil sebuah ayat dari Al-Quran:

"Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang dapat petunjuk." (QS An-Nahl:125)

Bisakah ayat ini dijadikan legitimasi pendapat mereka? Sepertinya kita perlu memperhatikan ayat sebelumnya dan segala hal yang terkait dengan ayat ini untuk mengetahui kejelasan pemahaman ayat ini.

Ayat ini diturunkan kepada Nabi Muhammad saw ketika berselisih dengan kaum Yahudi dalam menetapkan hari yang diagungkan Allah swt di setiap minggunya untuk dijadikan hari raya dan hari berkumpul bersama untuk beribadah. Sebelumnya, Allah swt telah menetapkan hari Jumat kepada Nabi Ibrahim as., kepada kaum Yahudi lewat lisan Nabi Musa as., dan kepada kaum Nasrani lewat lisan Nabi Isa as. Akan tetapi kaum Yahudi menolak dan memilih hari Sabtu, serta kaum Nasrani menolak dan memilih hari Minggu.

Nabi Muhammad saw mengajak kaum Yahudi untuk kembali mengikuti petunjuk Tuhan dan mereka pun tetap menolak dan memilih dalam kesesatan. Dan Allah swt berkata kepada Nabi Muhammad bahwa Dia yang lebih mengetahui siapa yang berhak Dia beri petunjuk dan siapa yang berhak mendapat kesesatan, dan tugas Nabi hanyalah menunjukan jalan kebenaran yang telah Tuhan berikan agar terhindar dari kesesatan, adapun hidayah adalah hak absolut Tuhan. (lihat:Tafsir Ibnu Katsir, dll)

Dari keterangan ini dapat kita fahami bahwa pemahaman ayat tersebut bukan menunjukan manusia tidak bisa mengetahui siapa yang sesat dan bukan, akan tetapi siapa yang berhak Tuhan beri petunjuk dan Dia sesatkan setelah Dia mengutus para Rasul untuk memberi tahu umat manusia; mana jalan sesat dan mana jalan yang benar.

Menjadi mentahlah argumen orang yang mengatakan, "Manusia tidak berhak menilai tentang sesat atau bukan, karena hanya Tuhan yang tahu," karena Allah swt sendiri telah memberi tahu kepada kita, siapa yang yang menurut Dia sesat atau bukan lewat Rasul yang Dia utus dan Kitab Suci yang Dia turunkan yang berisi firman-firman-Nya.

"Sesungguhnya kami menurunkan kepadamu Al Kitab (Al-Quran) untuk manusia dengan membawa kebenaran; siapa yang mendapat petunjuk maka (petunjuk itu) untuk dirinya sendiri, dan siapa yang sesat maka Sesungguhnya dia semata-mata sesat buat (kerugian) dirinya sendiri". (QS Al-Zumar:41)

"Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)."(QS.Al-Baqoroh:185)

Orang yang menolak adanya klaim sesat di dunia --karena menurutnya hanya Tuhan yang tahu, sebenarnya memiliki kerancuan di dalam berpikir. Mereka seolah-olah ingin mengagungkan Tuhan, akan tetapi sebenarnya malah sebaliknya. Di sini dapat kita ketahui kerancuan cara berpikir mereka:

Pertama, kita tahu Allah swt akan menempatkan orang yang sesat di dalam neraka, sebagai balasan atas perbuatannya ketika di dunia. Jika dilihat dari cara berpikir mereka, seolah Tuhan tidak bijaksana (Maha Suci Allah dari ketidakbijaksanaan), karena Tuhan menempatkan orang-orang yang menurut Dia sesat di neraka, sedangkan mereka tidak tahu kalau perbuatan mereka selama di dunia adalah sesat, karena hanya Tuhan yang tahu. Jika demikian, sama dengan mengganggap Tuhan berbuat tidak adil (Maha Suci Allah dari ketidakadilan) karena ingin menghukum manusia yang tersesat tanpa memberi tahu apa itu sesat terlebih dahulu, atau dalam bahasa kita, tidak ada sosialisai atau informasi sebelumnya.

Di dalam Al-Quran, penghuni neraka mengeluh karena menyesal tidak mengikuti petunjuk Tuhan ketika mereka hidup di dunia. Hal ini akan berbeda jika kita mengikuti asumsi tentang sesat yang tahu hanya Tuhan, maka keluhan ahli neraka akan berubah menjadi perotes:

" Ya Tuhan...! Kenapa Kau masukan aku ke neraka karena menurutmu aku sesat, kami kan tidak tahu kalau apa yang aku lakukan selama di dunia ternyata sesat, yang tahu kan hanya Engkau. Kenapa Engkau tidak memberi tahu kami, agar kami bisa menjauhinya".

Kedua, seolah Tuhan telah melakukan kesia-siaan (Maha Suci Allah dari kesia-siaan dari apa yang Dia perbuat) di dalam mengutus para Nabi dan menurunkan Kitab Suci kepada hamba-Nya, karena manusia tetap saja tidak mendapat informasi apa itu sesat atau bukan, padahal dengan jelas Dia berfirman di dalam Al-Quran bahwa Dia mengutus para rasul dengan membawa kitab suci untuk menjadi petunjuk bagi manusia.

Ketiga, jika mereka benar-benar tetap mengatakan bahwa hanya Tuhan yang tahu, kenapa mereka tidak mencari informasi dari firman Tuhan itu sendiri (Kitab Suci: Al-Quran) atau lewat para utusan-Nya(Rasul), atau mereka memang tidak mengimani keduanya sebagai sumber dari Tuhan? Lalu dengan petunjuk apa dan siapa mereka dapat mengetahui tentang sesat, sedangkan neraka telah menanti orang-orang yang sesat di dunia, apakah mereka ingin langsung bertanya dengan Tuhan?

Maha suci Allah swt yang Maha Bijaksana, yang telah mengutus Rasul dan menurunkan Kitab Suci sebagai pemberi informasi tentang kebenaran dan kesesatan kepada manusia, sehingga mereka dapat memilih jalan mana yang harus ditempuh dengan segala konsekuensinya.

Dan Maha Adil Allah swt yang tidak akan menyiksa hamba yang tersesat karena Dia belum menurunkan informasi tentang jalan yang benar dan jalan yang sesat, dan Dia yang akan menyiksa setiap orang yang menolak untuk mengikuti petunjuk yang telah Dia berikan kepada umat manusia lewat para Rasul.

"Barang siapa berbuat sesuai dengan petunjuk (Allah swt), maka sesungguhnya dia telah berbuat untuk (keselamatan) diri sendiri; dan barang siapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) diri sendiri, dan seseorang yang berdosa tidak bisa memikul dosa orang lain dan kami tidak akan mengazab sebelum kami mengutus seorang Rasul." (QS.Al- Isro:17)

Itulah kebijaksanaan Tuhan, yang tidak akan meminta pertanggung jawaban kepada hamba-Nya kecuali bagi mereka yang telah diberi tahu tentang tanggung jawab apa yang harus dipikulnya di hadapan-Nya.

Dari sinilah pula kita mengetahui fungsi diutusnya para Rasul dengan membawa Kitab Suci, yang tidak lain adalah untuk memberi petunjuk kepada kita, mana jalan yang sesat yang harus kita jauhi dan mana jalan yang lurus yang harus kita tempuh.

"Dialah (Allah) yang telah mengutus rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al-Quran) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrikin tidak menyukai." (QS Al-Taubah:33)

"Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah." (QS:Al-Nisa:80)

"Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia ke dalam jahanam, dan jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali." (QS:Al-Nisa:115)

Saya rasa sangat tidak berdasar orang -terlebih jika orang muslim- yang mengatakan bahwa manusia tidak bisa mengetahui; siapa manusia yang sesat dan bukan, karena tidak mau memahami fungsi diturunkannya Kitab Suci dan diutusnya rasul oleh Allah swt. Dan sekarang bukan saatnya lagi untuk mengatakan tidak adanya informasi tentang hal ini, karena Rasul telah diutus, firman Tuhan telah diturunkan, yang tertuang dalam kitab suci dan pewaris para nabi (ulama) sangat banyak untuk kita jadikan tempat bertanya tentang agama.

"(Mereka kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah swt sesudah diutusnya rasul-rasul itu. dan adalah Allah swt Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." QS: Al-Nisa:165)

"Bagaimanakah kamu (sampai) menjadi ingkar/kafir, padahal ayat-ayat Allah swt dibacakan kepada kamu, dan rasul-Nya pun berada di tengah-tengah kamu? Barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah swt, maka sesungguhnya ia Telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus."( QS: Ali Imron:101)

Rasulullah saw bersabda, "Sesungguhnya mereka para ulama adalah pewaris para nabi." (HR.Bukhori)

"Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan (ulama) jika kamu tidak mengetahui." (Al-Nahl : 43)

Tulisan ini tidak bermaksud untuk mengungkapkan apa dan siapa yang sesat, karena sangat banyaknya kriteria sesat yang tertulis di dalam Al-Quran dan As-Sunah. Tulisan ini hanya bertujuan memberi informasi bahwa informasi tentang sesat itu terdapat di dalam dua kitab tersebut. Dan bukan saatnya lagi untuk mengatakan bahwa yang tahu hanya Tuhan dan kita tidak ada yang tahu, karena Tuhan sendiri telah memberi tahu kita lewat Al-Quran dan Sunah rasul-Nya, dan kita pun bisa mengetahui. Walaupun kita tidak mengingkari bahwa Tuhan lebih mengetahui, akan tetapi informasi yang telah Tuhan berikan sudah sangat mencukupi untuk dijadikan petunjuk.

Sekarang tinggal diri kita, mau atau tidak untuk memanfaatkan kedua sumber informasi tersebut. Bagi yang belum mampu memahami isi kedua kitab tersebut dengan baik, lebih baik bertanya kepada ulama yang berkompeten di bidangnya atau mengikuti fatwa-fatwa mereka agar terhindar dari kesalahfahaman.

*Penulis adalah mahasiswa Fakultas Sariah Universitas Al Ahqoff, Hadramaut,Yaman

Waspadai 9 Dampak Makanan dan Harta Haram

Waspadai 9 Dampak Makanan dan Harta Haram
Friday, 07 August 2009 20:22 .

Banyak kaum Muslim kurang paham bahwa Allah akan menolak doa orang yang di dalam tubuhnya masuk makanan haram


Hidayatullah.com--"Mencari yang haram saja susah, apalagi mencari yang halal, "demikian ucapan sebagian orang, seolah-olah bisa melegalkan kita mendapatkan makanan yang haram. Tapi begitulah kondisi kehidupan duniawi saat ini.

Banyak orang jungkir-balik bekerja dan mengumpulkan harta demi sesuap nasi, meski harus mengambil dan mendapatkan makanan haram yang sangat dilarang oleh agama.

Padahal gara-gara makanan, doa kita bisa tidak diterima oleh Allah. Ibnu Abbas berkata bahwa Sa'ad bin Abi Waqash berkata kepada Nabi SAW, "Ya Rasulullah, doakanlah aku agar menjadi orang yang dikabulkan doa-doanya oleh Allah." Apa jawaban Rasulullah SAW, "Wahai Sa'ad perbaikilah makananmu (makanlah makanan yang halal) niscaya engkau akan menjadi orang yang selalu dikabulkan doanya. Dan demi jiwaku yang ada di tangan-Nya, sungguh jika ada seseorang yang memasukkan makanan haram ke dalam perutnya, maka tidak akan diterima amalnya selama 40 hari dan seorang hamba yang dagingnya tumbuh dari hasil menipu dan riba, maka neraka lebih layak baginya." (HR At-Thabrani)

Dalam Al-Quran disebutkan, "Katakanlah, terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan oleh Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal. "Katakanlah, "Adakah Allah telah memberikan izin kepadamu (dalam persoalan mengharamkan dan menghalalkan) atau kamu hanya mengada-adakan sesuatu terhadap Allah?" (Surah Yunus, 10: 59)

Di bawah ini beberapa dampak makanan haram yang masuk ke perut kita, sebagaimana banyak diungkapkan di hadis dan Al-Quran;


5 Dampak Langsung

1.Tidak Diterima Amalan

Rasulullah saw bersabda, "Ketahuilah bahwa suapan haram jika masuk ke dalam perut salah satu dari kalian, maka amalannya tidak diterima selama 40 hari." (HR At-Thabrani).


2.Tidak Terkabul Doa

Sa'ad bin Abi Waqash bertanya kepada Rasulullan saw, "Ya Rasulullah, doakan saya kepada Allah agar doa saya terkabul." Rasulullah menjawab, "Wahai Sa'ad, perbaikilan makananmu, maka doamu akan terkabulkan." (HR At-Thabrani). Disebutkan juga dalam hadis lain bahwa Rasulullah saw bersabda, "Seorang lelaki melakukan perjalanan jauh, rambutnya kusut, mukanya berdebu, menengadahkan kedua tangannya ke langit dan mengatakan, "Wahai Rabbku! Wahai Rabbku!" Padahal makanannya haram dan mulutnya disuapkan dengan yang haram, maka bagaimanakah akan diterima doa itu?" (HR Muslim).

3.Mengikis Keimanan Pelakunya

Rasulullah saw bersabda, "Tidaklah peminum khamr, ketika ia meminum khamr termasuk seorang mukmin." (HR Bukhari Muslim).

4.Mencampakkan Pelakunya ke Neraka

Rasulullah saw bersabda, "Tidaklah tumbuh daging dari makanan haram, kecuali neraka lebih utama untuknya." (HR At Tirmidzi).

5.Mengeraskan Hati

Imam Ahmad ra pernah ditanya, apa yang harus dilakukan agar hati mudah menerima kesabaran, maka beliau menjawab, "Dengan memakan makanan halal." (Thabaqat Al Hanabilah : 1/219).

At Tustari, seorang mufassir juga mengatakan, "Barangsiapa ingin disingkapkan tanda-tanda orang yang jujur (shiddiqun), hendaknya tidak makan, kecuali yang halal dan mengamalkan sunnah," (Ar Risalah Al Mustarsyidin : hal 216).



4 Dampak Tidak Langsung

1.Haji dari Harta Haram Tertolak

Rasulullah saw bersabda, "Jika seorang keluar untuk melakukan haji dengan nafaqah haram, kemudian ia mengendarai tunggangan dan mengatakan, "Labbaik, Allahumma labbaik!" Maka yang berada di langit menyeru, "Tidak labbaik dan kau tidak memperoleh kebahagiaan! Bekalmu haram, kendaraanmu haram dan hajimu mendatangkan dosa dan tidak diterima." (HR At Thabrani)

2.Sedekahnya ditolak

Rasulullah saw bersabda, "Barangsiapa mengumpulkan harta haram, kemudian menyedekahkannya, maka tidak ada pahala, dan dosa untuknya." (HR Ibnu Huzaimah)

3.Shalatnya tidak diterima

Dalam kitab Sya'bul Imam disebutkan, " Barangsiapa yang membeli pakaian dengan harga sepuluh dirham di antaranya uang haram, maka Allah tidak akan menerima shalatnya selama pakaian itu dikenakan." (HR Ahmad)

4.Silaturrahminya sia-sia
Rasulullah saw bersabda, "Barangsiapa mendapatkan harta dari dosa, lalu ia dengannya bersilaturahim (menyambung persaudaraan) atau bersedekah, atau membelanjakan (infaq) di jalan Allah, maka Allah menghimpun seluruhnya itu, kemudian Dia melemparkannya ke dalam neraka. Lalu Rasulullah saw bersabda, " Sebaik-baiknya agamamu adalah al-wara' (berhati-hati)." (HR Abu Daud).[www.hidayatullah.com]

Melafazkan Niat Puasa Adalah Bid’ah

Melafazkan Niat Puasa Adalah Bid’ah
Oleh Prince of Jihad pada Sabtu 22 Agustus 2009, 12:31 PM


Soal:
Di India, kami mengucapkan niat berpuasa, Allahumma ashuumu jaadan laka, faghfirlii maa qoddamtu wa maa akhkhartu, (Ya Allah, saya akan melaksanakan puasa dengan sungguh-sungguh karena Engaku. Maka ampunilah dosa-dosaku yang akan datang dan yang lalu.” Sedangkan saya tidak mengetahui artinya. Akan tetapi apakah niat dengan cara seperti ini benar? Kalau benar, saya mohon diberitahukan artinya atau beritahukan kepadaku niat yang benar dari Al-Qur’an dan Sunnah?

Jawab:
Alhamdulillah.

Puasa Ramadan atau ibadah-ibadah lainnya tidak sah melainkan dengan niat. Berdasarkan sabda Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhan amal (ibadah) itu tergantung niat. Dan setiap orang tergantung apa yang dia niatkan... sampai terakhir hadits." (HR. Bukhari, no. 01, dan Muslim, no 1907)

Niat (puasa Ramadan) disyaratkan waktu malam, sebelum terbit fajar. Berdasarkan sabda Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَنْ لَمْ يُجْمِعْ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلا صِيَامَ لَهُ (رواه الترمذي، رقم 730، ولفظ النسائي، رقم 2334) مَنْ لَمْ يُبَيِّتْ الصِّيَامَ مِنْ اللَّيْلِ فَلا صِيَامَ لَهُ (صححه الألباني في صحيح الترمذي، رقم 583)

“Barangsiapa belum niat untuk melakukan puasa sebelum fajar, maka dia tidak mendapatkan puasa.” (HR. Tirmizi, no. 730, sedangkan redaksi dalam riwayat Nasa’i, no. 2334) “Barangsiapa yang belum berniat puasa di malam hari, maka dia tidak mendapatkan puasa.” (Dishahihkan oleh Al-Albany dalam kitab shahih Tirmizi, no. 583)

Maksudnya adalah, barangsiapa belum berniat puasa dan tidak berencana kuat untuk melakukannya di waktu malam, maka dia tidak mendapatkan puasa.

Niat adalah perbuatan hati. Seorang muslim hendaknya memantapkan hatinya bahwa dia akan berpuasa besok. Tidak disyariatkan untuk melafazkannya dengan berucap: Saya niat berpuasa atau saya berpuasa sungguh-sungguh karena Engkau, hingga seterusnya, atau yang semisal itu dari berbagai bentuk ucapan yang dikarang-karang oleh sebagian orang. Niat yang benar adalah manakala seseorang memantapkan dalam hati bahwa dia akan berpuasa besok. Oleh karena itu syaikhul Islam mengatakan dalam kitab Al-Ikhtiyarat, hal. 191. “Barangsiapa yang terlintas dalam hatinya besok dia akan berpuasa, maka dia dianggap telah berniat.”

Al-Lajnah Ad-Daimah ditanya: “Bagaimana seseorang niat puasa di bulan Ramadan?” Maka dijawab: “Niat adalah dengan bertekad bulat (menunaikan) puasa. Niat harus ditetapkan di malam hari (untuk) puasa Ramadan, setiap malam.’

Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 10/246.

Wallahu’alam .

8 kiat mempererat ukhuwah

8 Kiat Mempererat Ukhuwah
Hadits
29/5/2008 | 24 Jumadil Awal 1429 H | Hits: 4,864
Oleh: Mochamad Bugi
--------------------------------------------------------------------------------


dakwatuna.com – Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Islam) bukanlah teori. Ini adalah ajaran praktis yang bisa kita lakukan dalam keseharian. Karena itu, nikmatnya ukhuwah tidak akan bisa kita kecap, kecuali dengan mempraktikannya.

Jika delapan cara di bawah ini dilakukan, Anda akan merasakan ikatan ukhuwah Anda dengan saudara-saudara seiman Anda semakin kokoh.

1. Katakan bahwa Anda mencintai saudara Anda

عَنِ النَّبِيِّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ قَالَ: إِِذَا أَحَبَّ الرَّجُلُ أَخَاهُ فَلْيُخْبِرْهُ أََنَّهُ يُحِبُّهُ
Rasulullah saw. bersabda, “Apabila seseorang mencintai saudaranya, hendaklah dia mengatakan cinta kepadanya.” (Abu Dawud dan Tirmidzi, hadits shahih)

عَنْ اَنَسٍ: اَنَّ رَجُلاً كَانَ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ فَمَرَّ رَجُلٌ فَقَالَ: يَا رَسُوْلُ اللهِ اِنّي لأحِبُّ هَذَا فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ أَعْلَمْتَهُ؟ قَالَ: لا، قَالَ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ: أعْلِمْهُ فَلَحِقَهُ فَقَالَ: إِنِّي أُحِبُّكَ فِى اللهِ فَقَالَ: أَحَبَّكَ الَّذِي أَحْبَبْتَنِى لَهُ
Anas r.a. mengatakan bahwa seseorang berada di sisi Rasulullah saw., lalu salah seorang sahabat melewatinya. Orang yang berada di sisi Rasulullah tersebut mengatakan, “Aku mencintai dia, ya Rasulullah.” Lalu Nabi bersabda, “Apakah kamu sudah memberitahukan dia?” Orang itu menjawab, “Belum.” Kemudian Rasulullah saw. bersabda, “Beritahukan kepadanya.” Lalu orang tersebut memberitahukannya dan berkata, “Sesungguhnya aku mencintaimu karena Allah.” Kemudian orang yang dicintai itu menjawab, “Semoga Allah mencintaimu karena engkau mencintaiku karena-Nya.” (Abu Dawud, dengan sanad shahih)

Jadi, jangan tunda lagi. Katakan cinta kepada orang yang Anda cintai.

2. Minta didoakan dari jauh saat berpisah

عَنْ عُمَرَبْنِ الْخَطَابِ قَالَ: اِسْتَأْذِنْتُ النَّبِيَّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ فِى الْعُمْرَةِ فَأَذِنَ لِي فَقَالَ: لاَ تَنْسَنَا يَا اُخَيَّ مِنْ دُعَائِكَ فَقَالَ: كَلِمَةً مَا يَسُرُّنِى أَنَّ لِى بِِهَا الدُّنْيَا، وَفِى رِوَايَةٍ قَالَ: أَشْرِكْنَا يَا أُجَيَّ فِى دُعَائِكَ
Umaق bin Khaththab berkata, “Aku minta izin kepada Nabi Muhammad saw. untuk melaksanakan umrah, lalu Rasulullah saw. mengizinkanku.” Beliau bersabda, “Jangan lupakan kami, wahai saudaraku, dalam doamu.” Kemudian ia mengatakan satu kalimat yang menggembirakanku bahwa aku mempunyai keberuntungan dengan kalimat itu di dunia. Dalam satu riwayat, beliau bersabda, “Sertakan kami dalam diamu, wahai saudaraku.” (Abu Dawud dan Tirmidzi, hadits hasan shahih)

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ: مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُوْ لِأَخِيْهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ إِلاَّ قَالَ الْمَلَكُ : وَلَكَ بِمِثْلٍ
Rasulullah saw. bersabda, “Tidak seorang hamba mukmin yang berdoa untuk saudaranya dari kejauhan malainkan malaikat berkata, ‘Dan bagimu seperti itu’.” (Muslim)

3. Bila berjumpa, tunjukkan wajah gembira dan senyuman

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ: لاَ تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُفِ شَيْئاً وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلِيْقٍ
Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah kamu meremehkan kebaikan apapun, walaupun sekadar bertemu saudaramu dengan wajah ceria.” (Muslim)

4. Berjabat tangan dengan erat dan hangat

Berjabat tanganlah acapkali bertemu. Sebab, Rasulullah saw. bersabda, “Tidak ada dua orang muslim yang berjumpa lalu berjabat tangan melainkan keduanya diampuni dosanya sebelum berpisah.” (Abu Dawud)

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ: مَا مِنْ مُسْلِمِيْنَ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَتَفَرَّقَا
5. Sering-seringlah berkunjung

Nabi Muhammad saw. bersabda, “Allah swt. berfirman, ‘Pasti akan mendapat cinta-Ku orang-orang yang mencintai karena Aku, keduanya saling berkunjung karena Aku, dan saling memberli karena Aku’.” (Imam Malik dalam Al-Muwaththa’)

6. Ucapkan selamat saat saudara Anda mendapat kesuksesan

عَنْ اَنَسٍ بن مالك قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ: مَنْ لَقِيَ أَجَاهُ بِمَا يُحِبُّ لِيَسُرَّهُ ذَالِكَ سَرَّةُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Anas bin Malik berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa bertemu saudaranya dengan membawa sesuatu yang dapat menggembirakannya, pasti Allah akan menggembirakannya pada hari kiamat.” (Thabrani dalam Mu’jam Shagir)

Jadilah Anda orang yang paling pertama mengucapkan selamat kala saudara Anda menikah, mendapat anak, menempati rumah baru, pergi haji, naik jabatan, dan lain-lain.

7. Berilah hadiah terutama di waktu-waktu istimewa

عَلَيْكُمْ بِالْهَدَايَا فَإِنَّهَا تُوْرِثُ الْمَوَدَّةَ وَتُذْهِبُ الضَّغَائِنَ
Hadits marfu’ dari Anas bahwa, “Hendaklah kamu saling memberi hadiah, karena hadiah itu dapat mewariskan rasa cinta dan menghilangkan kekotoran hati.” (Thabrani)

عَنْ عَائِشَةَ: تَهَادَوْا تَحَابُّوْا
Thabrani juga meriwayatkan hadits marfu’ dari Aisyah r.a. bahwa, “Biasakanlah kamu saling memberi hadiah, niscaya kamu akan saling mencintai.”

8. Berilah perhatian dan bantu keperluan Saudara Anda

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ: مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ، وَاللهُ فِى عَوْنِ الْعَبْدِ مَادَامَ الْعَبْدُ فِى عَوْنِ اَخِيْهِ.
Rasulullah saw. bersabda, “Siapa yang melepaskan kesusahan seorang mukmin di dunia niscaya Allah akan melepaskan kesusahannya di akhirat. Siapa yang memudahkan orang yang kesusahan, niscaya Allah akan memudahkan (urusannya) di dunia dan di akhirat. Siapa yang menutupi (aib) seorang muslim, niscaya Allah akan menutupi (aibnya) di dunia dan di akhirat. Dan Allah selalu menolong hamba-Nya jika hamba tersebut menolong saudaranya.” (Muslim)

Karena itu, jadikan diri Anda orang yang paling dahulu membantu kala saudara Anda membutuhkan.

Dasyatnya jihad harta

Dahsyatnya Jihad Harta!
Sunday, 04 January 2009 21:02 .

Untuk mencapai cita-cita, Yahudi mendirikan lembaga dana. Tapi untuk mendukung Palestina, kita enggan mengeluarkan harta!

Ketika Hamas memenangkan Pemilu tahun 2006 lalu di Palestina, Amerika dan negara-negara Eropa melakukan pemboikotan besar-besaran dana ke Palestina. Rakyat Palestina kelaparan dan pemerintah Palestina yang dikuasai Hamas saat itu, sibuk ke sana kemari mencari dana bantuan alternatif ke negara-negara Timur Tengah.

Di tengah-tengah kondisi ekonomi yang morat-marit itulah kemudian Amerika mendukung salah satu faksi di Palestina untuk "mengkudeta pemerintahan resmi Hamas". Dan terjadilah pertempuran berdarah antara Hamas dan Fatah. Kini Fatah menguasai wilayah Tepi Barat dan Hamas menguasai sepenuhnya Gaza. Palestina jadi terbelah.

Kondisi ini memaksa masing-masing pemerintah di Tepi Barat atau Gaza untuk menghidupi wilayahnya sendiri. Presiden Mahmud Abbas yang menguasai Tepi Barat sibuk mencari bantuan ke Amerika, Uni Eropa dan negara-negara lain. Begitu juga duta-duta Hamas berkeliling ke negeri-negeri Islam untuk mencari bantuan bagi masyarakat Palestina.

Pecahnya Palestina saat ini, tidak bisa dilepaskan dari campur tangan Amerika cs dalam melakukan pemboikotan ekonomi besar-besaran saat itu. Amerika yang telah mengkategorikan Hamas sebagai organisasi teroris, terus berupaya agar Hamas makin terpojok dan tidak mendapat simpati dari rakyat Palestina. Di tengah-tengah masyarakat yang lapar, tentu emosi mudah disulut dan terjadilah perpecahan Hamas dan Fatah.

Setelah kunjungan Presiden Mahmud Abbas dari Fatah beberapa bulan lalu, masyarakat Indonesia kemudian mendapat kunjungan tokoh intelektual Palestina, Dr. Nawwaf Takruri. Ia juga adalah Ketua "Rabithah Ulama Filistin" di Suriah. Ia juga seorang penulis ternama di Timur Tengah dan beberapa bukunya telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.


Dalam kunjungannya ke ormas-ormas dan tokoh-tokoh Islam di Indonesia, 2007 lalu, Dr. Nawwaf menyampaikan contoh-contoh yang menyentuh tentang jihad harta. Dalam ceramah di Masjid Darussalam Depok, misalnya ia menghimbau kepada para ibu-ibu agar menghemat belanjanya sehari saja dalam seminggu. Uang hasil hemat satu hari itu, diniatkan dan ditaruh di tempat khusus untuk rakyat Palestina. Begitu juga bapak-bapak diharapkan bila membelikan pakaian atau celana untuk anak-anaknya, sisihkanlah uang untuk satu anak Palestina. "Jika mempunyai anak tiga, maka tanamkanlah dalam diri kalian anda mempunyai anak empat, satu di Palestina." Untuk para remaja dan anak-anak, hematlah sehari saja dalam seminggu uang jajan yang diberikan orang tua. Uang hasil penghematan itu dimasukkan dalam kaleng khusus untuk anak-anak Palestina. "Ini bukan masalah jumlah, tapi masalah mendidik dan menanamkan nilai-nilai kepada anak-anak agar mereka turut berjihad membebaskan Palestina,"tegas laki-laki enam anak ini.

Salah satu bukunya yang mendapat perhatian besar pembaca, adalah bukunya yang berjudul "Al Jihad bil mal fi sabilillah" (Dahsyatnya Jihad Harta –terj. GIP). Buku ini mendapat pujian yang tinggi dari Kepala Biro Politik Hamas, Khalid Misy'al : " Buku ini sangat berbobot...Saya sangat menghargai materi ilmiah fiqih yang termuat begitu padat dalam buku ini, apalagi semuanya merujuk kepada Al-Qur'anul Karim dan As-Sunnah yang mulia, berlandaskan kondisi nyata persoalan-persoalan umat terutama persoalan Palestina, serta tuntutan kebutuhan yang sangat mendesak akan isu "jihad harta". Sebuah isu yang terkait dengan kemurahan hati untuk menyumbangkan dan mengeluarkannya untuk mendukung jihad dan para mujahidin. Jihad harta adalah "saudara kandung" jihad nyawa dan pelengkapnya. Bahkan jihad nyawa tidak akan sempurna jika tidak disertai jihad harta."

Buku ini menceritakan tentang keutamaan jihad harta yang kini banyak kaum muslimin tidak menyadarinya. Hukum jihad dengan harta adalah wajib, sama seperti kewajiban berjihad dengan nyawa, karena jihad kedua tidak dapat terlaksana dengan sempurna tanpa jihad pertama. Suatu perkara yang apabila sebuah kewajiban tidak akan sempurna tanpa keberadaannya, maka perkara tersebut juga menjadi wajib. Setiap Muslim dituntut untuk melaksanakan kewajiban ini, sebagaimana dia dituntut untuk berjihad dengan nyawa. Rasulullah saw. bersabda, "Berjihadlah melawan orang-orang musyrik dengan harta, nyawa dan lisan kalian." (HR Abu Dawud)

Ibnul Qayyim berkata, "Wajib berjihad dengan harta sama seperti kewajiban berjihad dengan nyawa. Ini merupakan salah satu dari dua pendapat Ahmad. Dan pendapat inilah yang benar tanpa diselubungi keraguan sedikit pun. Perintah berjihad dengan harta merupakan saudara kandung dan pasangan perintah berjihad dengan nyawa dalam Al-Qur'an, bahkan selalu disebutkan lebih dulu daripada jihad dengan nyawa dalam setiap ayat yang mencantumkannya, kecuali pada satu ayat saja. Hal ini menunjukkan bahwa jihad dengan harta lebih penting dan mendesak ketimbang jihad dengan nyawa. Tidak diragukan lagi, jihad dengan harta adalah salah satu dari dua jihad yang ada, sebagaimana dinyatakan oleh Nabi saw., "Siapa yang memberangkatkan (mendanai) orang yang berperang di jalan Allah, berarti dia juga ikut berperang." (HR Bukhari)

Menurut Takruri, setiap orang yang mampu secara ekonomi wajib berjihad dengan hartanya sebagaimana orang yang mampu secara fisik wajib berjihad dengan fisiknya. Jihad fisik tidak mungkin terlaksana tanpa ketersediaan dana. Kemenangan dalam perang tidak mungkin diraih tanpa pasukan dan perbekalan. Jika tidak mungkin memperbanyak jumlah pasukan maka harus memperbanyak perbekalan dan dana. Haji wajib dikerjakan. Bagi orang yang tidak sanggup mengerjakannya dengan fisik, apabila dia memiliki harta, maka kewajiban berjihad dengan harta lebih utama dan mendesak [daripada haji].

Sementara itu Imam al-Juwaini menyatakan bahwa bila musuh menyerang, maka jihad nyawa lebih utama dari harta. Al-Juwaini berkata, "Apabila orang-orang kafir menyerang wilayah Islam, maka seluruh ulama sepakat, jatuhlah fardhu 'ain bagi seluruh kaum Muslimin untuk segera bangkit dan menyerbu guna mengusir mereka, baik secara berkelompok maupun sendiri-sendiri… Ketika hal ini merupakan ajaran agama dan pandangan para ulama terkemuka, maka apa arti harta berbanding serangan gencar lawan, disaat memang sangat dibutuhkan? Seluruh kekayaan dunia ini, bila ditimbang dengan setetes darah saja, maka tidak akan sebanding atau seimbang. Ketika kondisi ini terjadi, nyawa harus direlakan menyongsong kematian. Dan, dalam upaya membela diri, harus siap dengan segala risiko yang dapat merenggut nyawa dan berhadapan musuh. Siapa yang berbeda pendapat dalam masalah ini, maka dia telah berbuat zhalim atau aniaya. Ketika darah bersimbah di ujung dan mata pedang, maka harta sama sekali tidak berharga…"

Ketika seorang Muslim berjihad dengan hartanya, berarti dia telah memenuhi seruan Allah SWT. untuk menunaikan kewajiban tersebut. Sebaliknya, jika malah menghindar dan kikir, berarti dia telah melanggar kewajiban yang ditetapkan Allah SWT. dan tidak menjalankan kewajiban semestinya, sama seperti ketika tidak menjalankan kewajiban-kewajiban agama lainnya.

Jhad dengan harta wajib dilakukan oleh semua orang sesuai batas kemampuan, kemudahan dan kesanggupan masing-masing. Jihad dengan nyawa bisa menjadi fardhu 'ain ketika musuh menyerang wilayah kaum Muslimin, seperti Palestina, Iraq, Afghanistan, Chechnya dan lain-lain. Maka hukum jihad dengan harta mengikutinya, yakni sama-sama fardhu 'ain atas setiap Muslim. Alhasil, setiap Muslim wajib menyumbangkan harta sesuai kemampuannya untuk memperkuat kedudukan para mujahidin dalam menghadapi dan menghancurkan musuh yang telah merampas kedaulatan wilayah Islam.

Bagi orang miskin, meskipun kemiskinan menghambatnya untuk menyumbangkan harta dalam jumlah besar, tapi tidak dapat dijadikan alasan untuk sama sekali tidak melakukannya. Ketika orang-orang kaya dituntut dalam kapasitas yang paling besar, tapi bukan berarti tuntutan tersebut tidak berlaku sama sekali bagi orang-orang miskin, melainkan tetap wajib melakukannya selayaknya kewajiban dia memberi nafkah kepada istri, anak dan sanak keluarganya. Masing-masing dituntut sesuai kemampuannya. Kadar kewajibannya sesuai dengan yang dinyatakan Allah SWT. dalam firman-Nya,

"Hendaklah orang yang mampu, memberi nafkah menurut kemampuannya." (Ath-Thalaq: 7). "Dan siapa yang kikir, sesungguhnya dia hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri." (Muhammad: 38)

Di dalam Al-Qur'an, Allah SWT. mendahulukan jihad harta atas jihad nyawa setiap kali menyebut keduanya secara bersamaan, kecuali dalam satu ayat saja, yaitu firman Allah SWT., "Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang Mukmin, nyawa dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh…" (At-Taubah: 111)

Selain ayat tersebut, jihad harta selalu disebut lebih dulu daripada jihad nyawa. Bukan karena kedudukan jihad harta lebih utama, melainkan karena urgensi jihad harta sebagai fasilitator jihad nyawa. Jihad harta berkedudukan sebagai persiapan awal sebelum melakukan aksi jihad nyawa, selain karena fungsinya sebagai penunjang yang ideal untuk terlaksananya jihad nyawa. Allah SWT. berfirman, "Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan nyawa mereka di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar." (Al-Hujurat: 15)

Rasulullah saw. menyetarakan kedudukan orang yang terjun langsung di medan perang dengan orang yang mendanainya, atau menggantikan posisinya untuk mengurus keperluan keluarganya. Rasulullah saw. bersabda, "Siapa yang memberangkatkan (mendanai) orang yang berperang di jalan Allah, berarti dia juga ikut berperang. Dan siapa yang mengurusi keluarga orang yang sedang berperang dengan baik, berarti dia juga ikut berperang". (HR Bukhari).

Dalam masalah solidaritas harta ini, kaum Yahudi sangat serius. Di antara lembaga Yahudi yang sangat giat menjalankan proyek Zionisme adalah Jewish Agency (Agen Yahudi) dan Jewish National Fund (Lembaga Keuangan Nasional Yahudi). Lembaga ini menerima sumbangan dari seluruh orang Yahudi di dunia. Mereka mendapat dukungan penuh dari kelompok Kristen-Zionis yang saat ini lebih dikenal dalam jajaran pemeritahan Amerika Serikat dengan kelompok Konservatif Baru (neo-conservative). Dan, salah satu tokoh utamanya adalah presiden Amerika sendiri, George W Bush.

Salah satu bentuk dukungan paling menonjol terhadap negara penjajah Zionis adalah sebuah program yang dikelola dan dipublikasi oleh sebuah situs internet, www.ou.org/HelpIsraelCenter.

Di Amerika Serikat saja terdapat sekian banyak yayasan dan lembaga yang semuanya bertujuan memberi bantuan kepada negara penjajah itu. Salah satu lembaga yang paling berpengaruh dan kegiatan-kegiatannya sangat terarah adalah AIPAC (American-Israeli Public Affair Commtittee) atau Komite Israel-Amerika untuk Urusan-urusan Publik. Para pemimpin dan pengurus organisasi ini terbilang tokoh-tokoh sangat berpengaruh di Amerika Serikat dan menjabat berbagai posisi strategis dalam pemerintahan Amerika. Sebagai contoh, kita cukup dengan mengenalkan salah satu tokohnya, yaitu Danis Rose, orang yang ditunjuk sebagai delegasi Amerika untuk proses perdamaian di Timur Tengah sejak pemerintahan George Bush senior.

Organisasi-organisasi sosial juga tidak ketinggalan untuk menggalang dana dan membiayai program-programnya yang memiliki tujuan mempertahankan negara Israel –membangun dan memperluas wilayah kedaulatannya, agar tampil sebagai negara paling berpengaruh di kawasan Timur Tengah Baru. Diantara organisasi-organisasi tersebut adalah:

Hazon Yeshaya; organisasi ini menyalurkan dananya untuk membiayai penyedian hasa' (semacam sup) di dapur-dapur umum dan pusat-pusat pelayanan publik, juga mencukupi kebutuhan-kebutuhan pokok lainnya kepada warga Israel yang sedang mengalami kesulitan.

Ezer Mizion; sebuah organisasi bantuan kesehatan. Organisasi ini memiliki 40 cabang yang tersebar di seluruh negara Israel dan 10.000 sukarelawan. Mereka siap memberi beragam pelayanan kesehatan bagi warga Israel guna mendukung sistem kesehatan yang dikembangkan negara.

Help Israel; kegiatan organisasi ini memberi bantuan darurat kepada warga Yahudi yang tinggal di perkemahan dan di daerah Yahuda dan Samira yang merupakan bagian dari wilayah Tepi Barat dan Jalur Gaza. Bantuan yang mereka berikan berupa pakaian, baju anti peluru dan berbagai kebutuhan darurat lainnya bagi komunitas-komunitas Yahudi.

Lebih dari 60% dana kampanye Partai Demokrat Amerika yang berhasil dikumpulkan oleh Jimmy Carter dan Bill Clinton adalah berasal dari sumbangan orang-orang Yahudi. Sehingga wajar jika dari 125 anggota Dewan Keuangan Nasional Partai Demokrat pada masa pemerintahan Carter (1977-1981), 70 orang di antaranya adalah Yahudi. Orang-orang Yahudi itu juga sanggup menyumbang 60% dari seluruh dana yang dihimpun oleh Richard Nixon, calon presiden Amerika dari Partai Republik, untuk memenangkan pemilihan umum tahun 1972. Sampai kini mereka memainkan peranan yang besar.

Memang jihad harta sangat dahsyat pengaruhnya! Wallaahu ghaniyyun hamiid.* [dirangkum oleh Nuim Hidayat/www.hidayatullah.com]


Zionis belum berhenti membantai, kok kita berhenti membantu? Sisihkan sebagian harta Anda untuk membantu rakyat Gaza di "Hidayatullah.com Peduli Palestina".
No Rek BCA: 822 0279422 CP Redaksi www.hidayatullah.com 081-357342242

rahasia puasa

Rahasia Puasa
Oleh Fadly pada Kamis 20 Agustus 2009, 04:40 PM


Ketahuilah bahwa dalam puasa ada sesuatu yang khusus yang tidak ditemukan selain dalam puasa. Puasa mendekatkan hubungan kita kepada Allah SWT, sebagaimana telah Dia katakan:

“Puasa adalah untukku dan aku akan membalasnya.” [Shahih Bukhari dan Muslim]

Hubungan ini sudah cukup menunjukkan tingginya status berpuasa. Seperti halnya, Ka’bah dimuliakan karena dia untuk mendekatkan diri kepadaNya. Sebagaimana pernyataanNya:

“…dan sucikanlah rumahKu…” (QS Al Hajj, 22: 26)

Sungguh, puasa hanya memiliki nilai yang baik dalam dua konsep signifikan:

Pertama: Puasa itu adalah perbuatan rahasia dan tersembunyi selanjutnya tidak ada seorang pun dari mahkluk yang bisa melihatnya. Dengan demikian riya’ tidak bisa masuk ke dalamnya.

Kedua: Puasa adalah sebuah alat untuk menaklukan musuh-musuh Allah. Ini karena jalan yang ditempuh musuh-musuh Allah (untuk menyesatkan anak Adam) adalah dengan hawa nafsu. Makan dan minum itu menguatkan hawa nafsu.

Ada banyak riwayat yang mengindikasikan kebaikan puasa, dan semua telah dikenal dengan baik.

Sunnah-sunnah Puasa

Sahur dan mengakhirkannya adalah lebih baik, menyegerakan untuk berbuka puasa dan mengawalinya dengan memakan kurma.

Kedermawanan dalam memberikan juga sunnah pada saat Ramadhan sebagaimana melakukan perbuatan baik dan meningkatkan kebaikan. Ini sesuai dengan yang dilakukan Rasulullah SAW.

Kemudian disunnahkan mempelajari Al-Qur’an dan melakukan I’tikaf pada saat Ramadhan terutama pada 10 hari terakhir, sebagaimana kita meningkatkan pelaksanaan (perbuatan baik) di dalamnya.

Dalam dua Shahih, ‘Aisyah berkata:

“Pada saat 10 hari terakhir bulan Ramadhan, Rasulullah akan mengencangkan ikat pinggangnya (izaar), menghabiskan malam dalam beribadah, dan membangunkan keluarganya (untuk Shalat).” [Shahih Bukhari dan Muslim]

Ulama telah menjelaskan dalam dua pandangan berkaitan dengan pengertian dari “mengencangkan ikat pinggangnya (izaar)”:

Pertama: Itu berarti menjauhkan diri dari wanita.

Kedua: itu adalah sebuah ungkapan yang menandakan motivasi yang kuat dari Rosulullah SAW untuk tekun dan kontinyu melaksanakan perbuatan baik.

Mereka juga mengatakan bahwa alasan untuk perbuatannya Rosulullah SAW dalam 10 malam terakhir dalam Ramadhan adalah karena beliau SAW mencari Lailatul Qadar.

Sebuah penjelasan rahasia dan karateristik puasa

Ada tiga tingkatan berpuasa: puasa umum, puasa khusus, dan puasa yang lebih khusus.

Sebagaimana untuk puasa umum, maka itu adalah menahan diri terhadap lapar, haus dan kemaluan dari memenuhi keinginan mereka.

Puasa khusus adalah menahan diri terhadap pandangan, lidah, tangan, kaki, mendengar dan mata, sebagaimana menghentikan badannya untuk melakukan perbuatan dosa.

Kemudian puasa lebih khusus, itu adalah mengosongkan diri dari kerinduannya kepada kepentingan-kepentingan dunia dan memikirkan mana yang menjauhkan seseorang dari Allah.

Dari karateristik spesifikasi yang terakhir adalah bahwa seseorang menundukkan pandangannya dan menjaga lisannya dari perkataan kotor yang terlarang, tidak disukai atau yang tidak bermanfaat, sebagaimana megendalikan ketenangan terhadap anggota tubuhnya.

Dalam sebuah hadits yang di riwayatkan oleh Al Bukhari:

“Siapa saja yang tidak meninggalkan perkataan buruk dan melakukannya, Allah memerlukan dirinya untuk meninggalkan makanan dan minumannya.”

[Shahih Al Bukhari, Abu Daud, At Tirmidzi dan Ibnu Majaah]

Karateristik lain dalan puasa khusus adalah bahwa seseorang tidak mengisi perutnya terlalu banyak dengan makanan pada saat malam. Sungguh, dia makan yang terukur, untuk kebutuhan, anak Adam tidak mengisi sebuah kapal lebih banyak dari pada perutnya.

Jika dia makan untuk memenuhinya pada saat bagian pertama malam, dia tidak akan berhasil memanfaatkan dirinya untuk beramal di sisa malam yang lain. Sebagaimana jika dia makan untuk memenuhi sahur, dia tidak akan berhasil memanfaatkan dirinya sampai sore (jika terlalu kenyang). Ini karena terlalu banyak makan mengakibatkan malas dan kelesuan. Selanjutnya, sasaran dari puasa adalah melenyapkan sifat berlebihan seseorang dalam makan, karena itu yang dimaksudkan dengan puasa, adalah bahwa rasa lapar seseorang kemudian menjadi sebuah keinginan dalam bentuk amal soleh.

Puasa Sunnah

Sebagaimana puasa Sunnah, maka ketahuilah bahwa pilihan untuk berpuasa dilakukan pada hari-hari tertentu. Sebagian dari puasa ini terjadi setiap tahun seperti berpuasa enam hari pada bulan Syawal setelah Ramadhan, puasa hari Arafah, puasa Aasyuraa, dan puasa hari kesepuluh Dzul Hijjah dan Muharram.

Sebagian dari puasa-puasa Sunnah terjadi di setiap bulan, seperti awal bulan, di tengah bulan, dan pada akhir bulan. Kemudian siapa saja yang berpuasa pada bagian pertama bulan, di tengah, ataupun di akhir bulan maka dia telah melaksanakan perbuatan baik.

Sebagian puasa dilakukan setiap minggu dan itu adalah setiap senin dan kamis.

Puasa Sunnah yang sangat dianjurkan adalah puasa Daud A.S. Dia akan melaksanakan puasa satu hari dan satu hari berbuka. Ini mencapai tiga sasaran berikut ini:

Jiwa yang diberikan bagiannya pada hari berbuka puasa. Dan pada hari berpuasa, itu benar-benar beribadah penuh.

Pada hari berbuka adalah hari bersyukur dan pada hari berpuasa adalah hari untuk bersabar. Iman terbagi menjadi dua bagian – syukur dan sabar. [Catatan: hadits dengan pernyataan yang sama tidak shahih, lihat Adh Dha’ifah: 625]

Itu adalah usaha yang sulit bagi tubuh. Ini karena setiap waktu jiwa mendapatkan suatu kondisi tertentu, yang mentransfer dirinya ke dalamnya.

Sebagaimana untuk puasa setiap hari, kemudian telah diriwayatkan oleh Imam Muslim, hadits dari Abu Qatadah, bahwa Umar R.A. bertanya kepada Rasulullah SAW:

‘Bagaimana jika seseorang berpuasa setiap hari?’ Kemudian Rasulullah SAW menjawab: “Dia tidak berpuasa tidak juga dia batalkan puasanya – atau – dia tidak berpuasa dan dia tidak membatalkan puasanya.” [HR Muslim]

Ini berkaitan dengan seseorang yang berpuasa terus menerus, bahkan pada saat dimana dilarang untuk berpuasa.

Karekteristik dari puasa yang paling khusus

Ketahuilah bahwa seseorang yang telah diberikan ilmu mengetahui tujuan di balik berpuasa. Selanjutnya dia membebankan dirinya pada tingkat dimana dia tidak akan bisa melakukan yang lebih bermanfaat daripada itu.

Ibnu Mas’ud berkata: ‘Pada saat aku berpuasa, aku bertambah lemas dalam shalatku. Aku lebih menyukai shalat daripada puasa (sunnah).’

Sebagian dari Shahabat menjadi lemah bacaan Qur’an-nya pada saat sedang berpuasa. Selanjutnya, mereka lebih membatalkan puasa mereka (yaitu dengan mengurangi puasa sunnah), sampai mereka bisa mengimbangi dengan membaca Al-Qur’an. Setiap orang banyak mengetahui tentang kondisi dan bagaimana memperbaikinya.

Wallahu’alam bis showab!

Imam Ibnu Qudaamah Al Maqdisi

Sabtu, 15 Agustus 2009

Berdakwahlah agar selamat dunia akhirat

Berdakwahlah Agar Selamat Dunia-Akhirat
Fiqih Dakwah
18/6/2008 | 13 Jumadil Akhir 1429 H | Hits: 3,216
Oleh: Tim dakwatuna.com
________________________________________

dakwatuna.com - Seorang dai pasti tahu bahwa Allah swt. telah menciptakan manusia untuk tunduk hanya kepada-Nya. وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ. “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Al-Dzariyat: 56 ).
Ibadah hanya benar dilakukan bila didasari pengetahuan yang jelas. Pengetahuan yang jelas tidak akan terwujud kecuali mengacu kepad manhaj (pedoman) yang telah digariskan oleh Allah swt. yang telah mengutus para rasul dan nabi-Nya. Mereka, para rasul dan nabi adalah penyeru (du’at) yang menunjukan kepada kebenaran. Demikianlah kesibukan mereka dalam rangka merealisasikan kehendak Allah yang telah manjadikan Adam a.s. sebagai khalifah di muka bumi, memutuskan perkara dengan ketetapan Allah dan melaksanakan segala perintah-Nya.
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (Al-Baqarah: 30). Maka dari itu, tujuan Allah menciptakan manusia agar dirinya sibuk dengan perintah-Nya.
Imam Ar-Razy berkata, “Ibadah yang bagaimanakah yang menjadi sebab diciptakannya jin dan manusia?” Kami tegaskan, “Ibadah yang dimaksud adalah mengagungkan perintah Allah dan menyayangi ciptaannya.” (Tafsir Ar-Razy, 28/453). Kemudian Ar-Razy berkata, “Mengagungkan Allah menuntut konsekuensi keharusan mengikuti syariat-Nya dan mentaati sabda rasul-Nya, Allah telah memberikan kenikmatan kepada hamba-hamba-Nya dengan mengutus para rasul dan menjelaskan berbagai jalan dalam merealisasikan kedua bentuk ibadah tersebut di atas. Pembagian ini terkait dengan tugas ibadah adalah pembagian yang mutlak dan menyeluruh.
Dakwah kepada Allah swt. adalah fenomena keagungan Allah swt. yang paling tinggi. Dan seorang dai yang menyerukan kepada fikrah atau sasaran tertentu dengan mengarahkan segala kesungguhan di jalannya, sesungguhnya hal itu dilakukan agar ia dapat memenuhi pencapaian sasaran dan fikrahnya. Barangsiapa yang menyerukan kepada fikrah, maka ia akan dievaluasi atas fikrahnya, sebagaimana fikrahnya juga akan dievaluasi berkenaan dengan dirinya.
Dalam berdakwah kepada Allah terdapat bukti kasih sayang kepada hamba-hamba-Nya, karena seorang dai ingin mengeluarkan manusia dari jurang kehancuran dan perpecahan di bawah kungkungan penguasa lokal menuju keluasan Islam dan cakrawalanya yang menyejukan, serta aturannya yang mengarahkan kepada kebahagiaan manusia. Juga mengeluarkan mereka dari lobang api neraka menuju taman surga.
Itulah dua sasaran ibadah, juga sekaligus menjadi sasaran dakwah, keselamatan ada pada capaian kedua sasaran tersebut. Para nabi Allah dan rasul-Nya telah berkomitmen dengan perintah Allah dalam berdakwah kepada-Nya dan memelihara tujuan penciptaan-Nya. Setiap rasul yang mulia selalu berobsesi dalam menyerukan manusia kepada keselamatan. Al-Qur’an telah menceritakan tentang pertarungan para nabi dengan kaumnya, selalu dipastikan bahwa pertarungan itu berakhir dengan kemenangan para du’at dan binasanya kaum penzalim penentang dakwah.
Pada kisah Nabi Nuh a.s. bersama kaumnya berakhir dengan:
فَكَذَّبُوهُ فَنَجَّيْنَاهُ وَمَنْ مَعَهُ فِي الْفُلْكِ وَجَعَلْنَاهُمْ خَلَائِفَ وَأَغْرَقْنَا الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُنْذَرِينَ
“Lalu mereka mendustakan Nuh, maka Kami selamatkan dia dan orang-orang yang bersamanya di dalam bahtera, dan Kami jadikan mereka itu pemegang kekuasaan dan Kami tenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang diberi peringatan itu.” (Yunus: 73)
Dalam kisah Hud a.s. bersama kaumnya juga berakhir dengan:
وَلَمَّا جَاءَ أَمْرُنَا نَجَّيْنَا هُودًا وَالَّذِينَ ءَامَنُوا مَعَهُ بِرَحْمَةٍ مِنَّا وَنَجَّيْنَاهُمْ مِنْ عَذَابٍ غَلِيظٍ(58)
“Dan tatkala datang azab Kami, Kami selamatkan Hud dan orang-orang yang beriman bersama dia dengan rahmat dari Kami; dan Kami selamatkan (pula) mereka (di akhirat) dari azab yang berat.” (Hud: 58)
Sedangkan dalam kisah Nabi Saleh a.s. bersama kaumnya, hasilnya adalah:
فَلَمَّا جَاءَ أَمْرُنَا نَجَّيْنَا صَالِحًا وَالَّذِينَ ءَامَنُوا مَعَهُ بِرَحْمَةٍ مِنَّا وَمِنْ خِزْيِ يَوْمِئِذٍ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ الْقَوِيُّ الْعَزِيزُ
“Maka tatkala datang azab Kami, Kami selamatkan Shaleh beserta orang-orang yang beriman bersama dia dengan rahmat dari Kami dan (Kami selamatkan) dari kehinaan di hari itu. Sesungguhnya Tuhanmu Dia-lah Yang Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (Hud: 66)
Dalam kisah Nabi Luth a.s. dakwahnya berhasil dengan:
قَالُوا يَالُوطُ إِنَّا رُسُلُ رَبِّكَ لَنْ يَصِلُوا إِلَيْكَ فَأَسْرِ بِأَهْلِكَ بِقِطْعٍ مِنَ اللَّيْلِ وَلَا يَلْتَفِتْ مِنْكُمْ أَحَدٌ إِلَّا امْرَأَتَكَ إِنَّهُ مُصِيبُهَا مَا أَصَابَهُمْ إِنَّ مَوْعِدَهُمُ الصُّبْحُ أَلَيْسَ الصُّبْحُ بِقَرِيبٍ(81)فَلَمَّا جَاءَ أَمْرُنَا جَعَلْنَا عَالِيَهَا سَافِلَهَا وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهَا حِجَارَةً مِنْ سِجِّيلٍ مَنْضُودٍ(82)
Para utusan (malaikat) berkata, “Hai Luth, sesungguhnya kami adalah utusan Tuhanmu, sekali-kali mereka tidak akan dapat mengganggu kamu, sebab itu pergilah dengan membawa keluarga dan pengikut-pengikut kamu di akhir malam dan janganlah ada seorang di antaramu yang tertinggal, kecuali isterimu.” Sesungguhnya mereka akan ditimpa azab yang menimpa mereka karena sesungguhnya saat jatuhnya azab kepada mereka ialah di waktu subuh, bukankah subuh itu sudah dekat? Maka tatkala telah datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (kami balikkan), dan kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi. (Hud: 81-82).
Kisah dakwah Nabi Syuaib berakhir dengan:
وَلَمَّا جَاءَ أَمْرُنَا نَجَّيْنَا شُعَيْبًا وَالَّذِينَ ءَامَنُوا مَعَهُ بِرَحْمَةٍ مِنَّا وَأَخَذَتِ الَّذِينَ ظَلَمُوا الصَّيْحَةُ فَأَصْبَحُوا فِي دِيَارِهِمْ جَاثِمِينَ
“Dan tatkala datang azab Kami, Kami selamatkan Syuaib dan orang-orang yang beriman bersamanya dengan rahmat dari Kami, dan orang-orang yang zalim dibinasakan oleh suatu suara yang mengguntur, lalu jadilah mereka mati bergelimpangan di rumahnya.” (Hud: 94)
Dalam kisah Nabi Musa a.s. dan Fir’aun, berakhir dengan hasil sebagai beikut:
فَانْتَقَمْنَا مِنْهُمْ فَأَغْرَقْنَاهُمْ فِي الْيَمِّ بِأَنَّهُمْ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا وَكَانُوا عَنْهَا غَافِلِينَ(136)وَأَوْرَثْنَا الْقَوْمَ الَّذِينَ كَانُوا يُسْتَضْعَفُونَ مَشَارِقَ الْأَرْضِ وَمَغَارِبَهَا الَّتِي بَارَكْنَا فِيهَا وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ الْحُسْنَى عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ بِمَا صَبَرُوا وَدَمَّرْنَا مَا كَانَ يَصْنَعُ فِرْعَوْنُ وَقَوْمُهُ وَمَا كَانُوا يَعْرِشُونَ(137)
“Kemudian Kami menghukum mereka, maka Kami tenggelamkan mereka di laut disebabkan mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka adalah orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami itu. Dan Kami pusakakan kepada kaum yang telah ditindas itu negeri-negeri bahagian timur bumi dan bahagian baratnya yang telah Kami beri berkah padanya. Dan telah sempurnalah perkataan Tuhanmu yang baik (sebagai janji) untuk Bani Israil disebabkan kesabaran mereka. Dan Kami hancurkan apa yang telah dibuat Fir`aun dan kaumnya dan apa yang telah dibangun mereka.” (Al-A’raf: 136-137)
Demikian pula halnya dengan sebuah Desa Tepi Pantai:
فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ أَنْجَيْنَا الَّذِينَ يَنْهَوْنَ عَنِ السُّوءِ وَأَخَذْنَا الَّذِينَ ظَلَمُوا بِعَذَابٍ بَئِيسٍ بِمَا كَانُوا يَفْسُقُونَ(165)
“Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik.” (Al-A’raf: 165).
Ayat-ayat tersebut di atas menguatkan bahwa keselamatan bagi dakwah kepada Allah, dan inilah janji Allah kepada orang-orang beriman:
ثُمَّ نُنَجِّي رُسُلَنَا وَالَّذِينَ ءَامَنُوا كَذَلِكَ حَقًّا عَلَيْنَا نُنْجِ الْمُؤْمِنِينَ(103)
“Kemudian Kami selamatkan rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman, demikianlah menjadi kewajiban atas Kami menyelamatkan orang-orang yang beriman.” (Yunus: 103)
Kemenangan orang-orang mukmin adalah kemenangan para dai, terbukti karena janji dan keputusan (Allah). Inilah garis yang telah ditetapkan Allah (sunnatullah) di muka bumi. Inilah janji untuk para penolong-Nya. Apabila terkadang perjalanan terasa panjang bagi bagi para dai, maka harus dipahami seperti inilah jalannya. Hendaknya para dai tetap yakin kemenangan dan pergantian kekuasaan akan menjadi milik orang-orang beriman. Juga hendaknya para dai jangan tergesa-gesa terhadap janji Allah, hal itu pasti akan terjadi di tengah perjalanan. Allah tidak akan menipu para penolong-Nya, tidak akan lemah untuk menolong mereka dengan kekuatan-Nya, dan tidak akan menyerahkan mereka kepada musuh-musuh-Nya. Bahkan, Allah akan selalu mengajarkan mereka, menambah pengetahuan mereka, dan membekali mereka -dalam cobaan dan penderitaan- dengan bekalan perjalanan.
Tidak Ada Ruginya Berdakwah لا خسارة في الدعوة
Kegiatan dakwah tidak seperti yang dianggap oleh kebanyakan orang, penuh dengan rasa letih, penderitaan, kepenatan dan kesengsaraan. Sesungguhnya kegiatan dakwah –meskipun tidak terlepas dari kelelahan dan kepenatan– seperti makanan lezat dan memuliakan hati. Oleh karena itu para aktivis dakwah selalu tetap berada di jalannya dengan nilai-nilai yang tinggi dan berharga, melipur lara dan mendapatkan kematian adalah kehidupan yang sesungguhnya demi kepentingan dakwah. Mereka adalah orang yang paling bahagia bila dibanding dengan yang lainnya (yang tidak berdakwah). Adapun akhir dari perjuangan dakwah adalah kemenangan dan kekekalan; selain dari itu adalah kehancuran dan kebinasaan.
Dakwah Nabi Muhammad adalah Memberi Perlindungan Bagi Kemanusiaan
Bila diamati beberapa ayat yang menjelaskan tentang pertarungan para nabi dengan kaumnya, maka dapat disimpulkan bahwa orang-orang zalim seluruhnya dimusnahkan oleh azab Allah swt. sehingga tidak ada lagi tersisa dan tidak luput seorang pun dari mereka. Dengan datangnya Nabi Muhammad saw. tidak ada lagi pemusnahan massal, baik dengan topan, halilintar, ataupun badai. Hal ini merupakan penghormatan bagi umat ini yang tidak pernah sunyi dari orang yang berjuang untuk Allah dengan hujjah yang nyata dan kelompok yang terus eksis di atas perintah Allah (dakwah), sampai tiba keputusan-Nya, kelompok tersebut adalah para dai. Lantaran mereka Allah menetapkan keselamatan bagi umat ini dari kebinasaan secara massal. Akan tetapi ketika di bumi ini tidak ada lagi golongan mulia di sisi Allah (para dai), maka kiamat akan segera tiba, sebagaimana tertuang dalam beberapa hadits.
قال: لا تقوم الساعة إلا على أشرار الناس
Rasulullah saw. bersabda, “Tidak terjadi kiamat kecuali bila seluruh manusia berbuat keburukan.” (Muslim)
وقال: لا تقوم الساعة على أحد يقول : الله الله. وفي رواية حتى لا يقال في الأرض : الله الله .( أخرجه مسلم 1/171 شرح النووي)
Dan Bersabda Rasulullah saw., “Tidak akan terjadi kiamat bila masih ada orang yang menyebut, ‘Allah, Allah’.” Dalam riwayat yang lain, “Sampai tidak ada yang berkata lagi di muka bumi ini, ‘Allah, Allah’.” (Muslim)
وقال : ” يُقبض الصالحون الاول فالأول ويبقى حثالة كحثالة التمر أو الشعير لا يعبأ الله بهم شيئاً
Rasulullah saw. berkata, “Diwafatkan orang-orang yang saleh dari generasi pertama hingga generasi berikutnya, seperti buah kurma dan biji gandum, yang tersisa kemudian hanya yang jelek-jeleknya saja, Allah tidak terbebani sedikitpun oleh keadaan mereka.” (Bukhari)
Hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa terjadinya kiamat berkaitan dengan hilangnya dawah dan para dainya. Tentu saja ini bukan kaitan sebab akibat, tetapi maksudnya adalah Allah senantiasa menghargai kemanusiaan dengan dakwah dan para dainya. Selama dakwah dan para dainya terus berlanjut, maka tujuan penciptaan di muka bumi ini masih terus berlangsung. Namun, bila dakwah dan para dainya lenyap, maka manusia telah rugi karena alasan kebaikan keberadaannya di muka bumi ini pun menjadi hilang dan tidak berlaku lagi. Demikianlah, sesungguhnya manusia berada di antara dua titik, titik permulaan atau titik penghabisan.
Titik permulaan diisyaratkan dalam firman Allah: وإذ قال ربك للملائكة إني جاعل في الأرض خليفة “Dan ketika berkata Tuhanmu kepada malaikat sesungguhnya aku menjadikan di muka bumi ini seorang khalifah.” Sedangkan titik penghabisan diisyaratkan dalm hadits Rasulullah saw.,
إن الله يبعث ريحاً من اليمن ألين من الحرير ، فلا تدع أحداً فيه مثقال حبة من إيمان إلا قبضته. (أخرجه مسلم 1/132 شرح النووي).
“Sesungguhnya Allah akan mengirim aroma wewangian dari Yaman yang lebih lembut dari sutra, tidaklah engkau meninggalkan seseorang padanya keimanan seberat biji sawi, melainkan engkau telah menangkapnya (menyelamatkannya).” (Muslim)
Imam Muslim telah mengeluarkan hadits dari Abdurrahman bin Syamasah r.a., “Ketika aku bersama Maslamah bin Makhlad dan bersamanya Abdullah bin Amr bin Ash, berkata Abdullah,
فقال عبدالله : لا تقوم الساعة إلا على شرار الخلق، هم شر من أهل الجاهلية، لا يدْعون الله بشيء إلا رده الله عليهم
“Tidak akan terjadi kiamat kecuali kepada manusia durjana, bahkan mereka lebih durjana dari kaum jahiliyah, doa mereka ditolak oleh Allah.” (Muslim)
Tiba-tiba datanglah Uqbah bin Amir, maka berkata Maslamah, “Hai Uqbah, dengarlah apa yang diucapkan Abdullah.” Uqbah menjawab, “Dia lebih tahu, sedangkan saya pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda,
فسمعت رسول الله يقول: لا تزال عصابة من أمتي يقاتلون على أمر الله، قاهرين عدوهم، لا يضرهم من خالفهم حتى تأتيهم الساعة وهم على ذلك، قال عبد الله: ثم يبعث الله ريحاً كريح المسك مسُّها مسُّ الحرير ، فلا تترك نفساً في قلبه مثقال حبة من إيمان إلا قبضته، ثم يبقى شرار الناس عليهم تقوم الساعة. ( أخرجه مسلم 3/1524 ، شرح النووي)
“Tidaklah sekelompok dari umatku berperang atas perintah Allah, mendesak musuh-musuh mereka, tidak membahayakan mereka orang-orang yang menentang mereka, sampai datangnya kiamat, sementara mereka tetap seperti itu.”
Abdullah berkata, “Kemudian Allah mengirim aroma seperti aroma kasturi, sentuhannya seperti sentuhan sutra, maka tidaklah engkau tinggalkan seseorang di dalam hatinya terdapat keimanan seberat biji sawi melainkan engkau menangkapnya, kemudian yang tersisa hanyalah manusia durjana, karena merekalah terjadi kiamat.” (Muslim)
Dapat disimpulkan dari riwayat tersebut ada satu petunjuk bahwa ada korelasi antara kelompok orang beriman dengan datangnya kiamat dan datangnya kiamat karena kedurjanaan manusia. Pengertian dari korelasi yang dimaksud adalah semakin dekatnya kiamat, sebagaimana pendapat Imam Nawawi ketika menjelaskan hadits ini. Sedangkan hadits lain yang menyatakan:
الآخر لا تزال طائفة من أمتي ظاهرين على الحق إلى يوم القيامة فليس مخالفاً لأن معنى هذا أنهم لا يزالون على الحق حق تقبضهم هذه الريح
“Tidaklah sekelompok umatku terus eksis di atas kebenaran hingga hari kiamat”, tidak bertentangan, karena makna hadits mereka senantiasa di atas kebenaran, yaitu kebenaran mereka memperoleh aroma kasturi.” (Muslim)
Manakala seorang dai telah mencanangkan dirinya untuk berjihad dan mendorong dirinya untuk berkorban di jalan Allah, dan memasuki satu celah untuk menghadapi musuh-musuh Islam, maka keahlian seperti itu akan menjadikan dirinya lebih mampu bermanuver, dan ia dengan izin Allah akan menang dan selamat, sementara musuhnya akan hina binasa. Keselamatan yang dimaksud bukanlah keselamatan individu dari penyakit dan penderitaan, tetapi yang dimaksud adalah keselamatan jamaah dan fikrah pada akhir perjuangan. Adapaun di akhirat nanti gambaran keselamatan adalah kenikmatan permanen dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, di dalamnya terdapat sesuatu di mana mata (ketika di dunia) tidak pernah melihatnya, telinga tidak pernah mendengarkannya dan tidak pernah terlintas dalam hati siapapun.