Minggu, 27 Desember 2009

Masihkah Mempunyai Malu Dihadapan Allah?

Ia dapat merubah tradisi Daulah Bani Ummaiyah yang rendah, yang telah berlaku lebih dari 60 tahun, menjadi masa kehidupan yang indah, baik, adil, dan sejahtera, yang mirip dengan masa Rasulullah Shallahu alaihi wa salam.

Lelaki itu dahulu sebelum menjadi penguasa, mengenakan wangi-wangian dari jenis yang terbaik, duduk diatas singgasana yang megah, memakai pakaian yang paling mahal dan mewah, menikmati makanan yang paling lezat, menunggang kuda yang paling elok, serta penghasilannya setiap tahunnya mencapai 40.000 dinar.

Namun dengan kehendaknya sendiri, dan waktu yang singkat, kehidupannya berubah. Kehidupan yang memakau di mata manusia itu, dan segalanya ia tinggalkan dan ia pupus.

Wewangian yang sangat harum yang biasa dikenakannya, berganti dengan peluh dan keringat yang bercucuran. Kuda tunggangannya yang elok, berganti dengan telapaknya. Sehingga, kakinya menjadi kasar dan keras. Pakaiannya yang paling indah dan mewah berganti dengan yang paling murah. Makannya yang melimpah dan lezat menjadi sangat sederhana. Dan, ia sudah tidak memiliki penghasilan tahunan lagi. Betapa, ia tinggalkan semua kemewahan hidup, yang serba menakjubkan dimata manusia, dan ia jalani kehidupan, yang sejauh-jauhnya dari kehidupan dunia.
Diangkutnya seluruh kekayaan pribadi yang dimilikinya, dan ia masukkan ke dalam Baitul Mal.

Istananya yang dahulu serba megah dan sangat mengagumkan itu, kemudian berubah menjadi rumah sangat sederhana, dan terbuat dari tanah. Adapun, singgasanya .. adalah singgasana yang paling hebat, sebab terbuat dari potongan batang kayu bulat yang diletakkan begitu saja diatas tanah.

Dan, yang sangat menggugah bahwa perubahan itu terjadi bukan pada diri rakyat yang awam … tetapi justru pada diri seorang raja .. bahkan raja diraja, pemilik istana dan kekayaan, kebangsawanan, dan seluruh keistimewaan, yang tiada bandingnya.

Adakah peristiwa ini pada diri seorang kakek yang sudah tua renta, dan sedang mendekati kematiannya? Tidak. Ia bukan seorang kakek tua. Tetapi, ia adalah orang masih sangat muda, yang sedang berangkat dewasa, dalam usia 35 tahun.

Semenjak ia diangkat menjadi seorang khalifah, di relung hatinya yang paling dalam, selalu galau, dan diliputi dengan pertanyaan : “Siapakah yang dapat membebaskan diriku pada hari kebangkitan nanti, dari tuntutan fakir miskin yang kelaparan … dari orang-orang yang merintih kesakitan dan penderitaan, dari orang yang teraniaya dan yang ditinggal mati suaminya, dan dari anak yatim serta tawanan ..”

Majulah wahai pemimpin umat, yang mencintai, dan selalu mencintai Allah Azza Wa Jalla, dalam setiap gerak langkahmu, biarlah kami tahu, bagiamana engkau mencuci pakaianmu itu sendiri, dan engkau menunggunya hingga kering untuk engkau kenakan lagi, lantaran engkau tidak memiliki pakaian selain itu.

Biarlah, engkau tunjukkan kepada kami, istana engkau yang terletak jauh di ujung sana … sehingga, ketika seorang wanita mengunjunginya untuk meminta tambahan tunjangan, dengan rasa getir ia mengatakan : “Mana mungkin saya mengharapkan bantuan membangun rumah saya dari orang yang rumahnya bobrok dan berantakan ini …” Dan, berbagahagialah engkau, sekiranya istrimu Fatimah itu .. dengan amat tepat menjawab wanita itu tadi : “Yah, yang menyebabkan rumah ini bobrok dan berantkan, tiada lain disebabkan pembangunan rumah orang seperti anda ini”, ujarnya. Begitu indah kehidupan waktu itu.

Lelaki itu, tak pernah lupa, apa yang diucapkan Aisyah, yang mengatakan bahwa Rasulullah shallahu alaihi wa salam, berkata : “Wahai manusia, malulah kepada Allah dengan sebenar-benarnya malu”. Kemudian, Beliau berkata lagi : “Barangsiapa diantara kalian malu, hendaknya tidak beranjak tidur kecuali ajalnya terbayang dipelupuk matanya. Hendaknya ia juga menjaga perutnya dan isinya. Kepala dan isinya. Ia mengingat mati dan kehancuran dan hendaknya ia meninggalkan perhiasan dunia”. (HR.Ath-Tabrani)

Ia membayangkan kematian ada dihadapannya seolah-olah ia menyaksikannya didepan mata. Kematian adalah sesuatu yang pasti dan harus ada di depan mata, agar mendorong beramal sebagai persiapan menghadapi kematian dan masa setelahnya.

Ketika masih kanak-kanak ibunya pernah menjumpai di kamarnya … dilihat anaknya sedang berurai air mata. Kemudian, anaknya yang masih kecil dipeluk oleh ibunya, dan ditanyakan kepadanya apa yang menyebabkan bersedih seperti itu .. Kemudian, apa jawabnya? “Tiada sesuatu pun wahai ibuku, hanya saja ananda takut dan teringat akan kematian ..”

Lelaki itu, tak lain, adalah Umar bin Abdul Aziz, yang mendapatkan julukan khalifah kelima, karena sangat masyhur, dan memberikan suri tauladan, yang tak pernah habis-habis bagi kehidupan,hingga kini. Lekaki itu, memiliki rasa takut dan malu yang luar biasa kepada Rabbnya, sehingga segala kenikmatan dunia ia tinggalkan, dan hidup dengan penuh zuhud dan wara’.

Ia memahami arti kehidupan ini. Umar bin Abdul Aziz, tak terbelenggu dengan kenikmatan dunia, yang terkadang membawa bencana bagi manusia, yang lalai dan lalim. Maka, ia lebih memilih kehidupan, yang akan menjamin dirinya mendapatkan kemuliaan disisi Allah Azza Wa Jalla. Ketika, ia wafat hanya meninggalkan terompah dan jubah serta karpet yang digunakan menerima tamunya. Wallahu ‘alam.
sumber:http://eramuslim.com/syariah/bercermin-salaf/masihkah-mempunyai-malu-dihadapan-allah.htm
ditulis oleh:Mashadi